Yuk, Mari Kenali Sejarah Insektisida

Yuk, Mari Kenali Sejarah Insektisida
26
Jumat, 26 April 2024

Tahukah kamu, insektisida adalah jenis zat beracun yang digunakan untuk menghilangkan dan mengendalikan populasi serangga, mencakup bahan kimia yang menargetkan telur dan larva (dikenal sebagai ovisida dan larvisida secara berturut-turut) (Araujo et al., 2023).

Zat-zat ini umumnya digunakan untuk memerangi hama yang menyerang tanaman yang dibudidayakan atau untuk membasmi serangga penular penyakit dalam wilayah tertentu.

Secara historis, senyawa insektisida telah mencakup belerang, logam berat, garam, dan ekstrak tumbuhan seperti Chrysanthemum cinerariifolium (sebelumnya disebut Dalmatian pyrethrum) (Oberemok et al., 2015).

Penggunaan unsur dasar dan bahan alami untuk pengendalian hama telah ada sejak awal pertanian dan masih berlanjut hingga era kontemporer.

Sekitar 4500 tahun yang lalu, masyarakat Sumeria diketahui telah menggunakan senyawa berbasis belerang untuk memberantas serangga dan tungau, yang merupakan salah satu contoh penerapan insektisida yang tercatat paling awal.

Selain itu, sekitar 3200 tahun yang lalu, praktik-praktik Tiongkok melibatkan penggunaan senyawa berbasis merkuri dan arsenik untuk pengendalian kutu tubuh (Unsworth, 2010).

Penggunaan preparasi tumbuhan juga tercatat sebagai salah satu metode pengendalian hama yang paling awal.

Sebagai contoh, penemuan sifat insektisida dari C. cinerariifolium mungkin terjadi secara tidak sengaja. Menurut sebuah buku tentang bunga-bunga ini, seorang wanita Jerman dari Dubrovnik mengambil bunga-bunga itu karena keindahannya.

Setelah layu, dia melihat serangga mati berkumpul di sekitar sisa-sisa bunga tersebut, menunjukkan kemungkinan hubungan antara C. cinerariifolium dan kemampuannya untuk membunuh serangga (McLaughlin, 1973).

Bunga-bunga ini, sebelumnya dikenal sebagai bunga pyrethrum, mengandung hingga 1,5% zat yang disebut piretrin, dimana zat ini karena sifat insektisidanya (Oberemok et al., 2015). Bahan ini digunakan juga sebagai insektisida di Tiongkok kuno dan selama Abad Pertengahan di Persia.

Pedagang Armenia memperkenalkannya ke Eropa sekitar 200 tahun yang lalu, memasarkannya sebagai "debu Persia."

Serbuk ini berasal dari bunga kering Chrysanthemum roseum, dengan piretrin I dan II sebagai komponen utama dari ekstrak tersebut, yang masih digunakan dalam beberapa semprotan rumah tangga saat ini (Davies et al., 2007).

Chrysanthemum Roseum

Foto: Chrysanthemum Roseum

Selama abad ke-19, berbagai macam bahan kimia mulai digunakan untuk memerangi serangan hama tanaman.

Kejadian terjadi di mana seorang petani menemukan bahwa Paris green, awalnya adalah pigmen cat (tembaga asetoarsenit), tampaknya memiliki sifat insektisida ketika secara tidak sengaja diaplikasikan ke ladang kentang yang terinfestasi oleh kumbang kentang Colorado (Casagrande, 1987).

Zat ini mendapatkan penggunaan luas di banyak negara hingga pertengahan abad ke-20. Selain itu, untuk menanggulangi vektor malaria, Paris green diaplikasikan sebagai larvasida pada tempat perkembangbiakan (Majori, 2012).

Paris green atau tembaga asetoarsenit (kiri) dan kumbang kentang Colorado (kanan)

Foto: Paris green atau tembaga asetoarsenit (kiri) dan kumbang kentang Colorado (kanan)

Secara bersamaan, boraks muncul sebagai insektisida lain yang dilaporkan selama era ini, terutama ketika digunakan sebagai lapisan untuk benih tanaman seperti jagung (Schwardt, 1930).

Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, para ilmuwan memimpin penemuan senyawa organik sintetis pertama yang digunakan sebagai insektisida, terutama dalam bentuk senyawa organoklorida.

Meskipun benzene hexachloride (BHC) dan dichlorodiphenyltrichloroethane (DDT) disintesis pada abad ke-19, sifat insektisidanya tidak sepenuhnya diakui dan baru dimanfaatkan di kemudian hari (Tanaka, 2015).

Struktur kimiawi benzene hexacloride (kiri) dan dichlorodiphenyltrichloroethane (kanan)

Foto: Struktur kimiawi benzene hexacloride (kiri) dan dichlorodiphenyltrichloroethane (kanan)

BHC pertama kali diproduksi oleh ilmuwan Inggris Michael Faraday pada tahun 1825, dan DDT disintesis oleh ahli kimia Austria Othmar Zeidler pada tahun yang sama. Namun, baru pada tahun 1933 dan 1939, masing-masing oleh Bender dan Müller, sifat insektisida BHC dan DDT berhasil ditunjukkan (Metcalf, 1973).

Penemuan ini menandai tonggak sejarah penting dalam pengendalian hama, yang mengarah pada penghargaan Nobel bagi Müller pada tahun 1948 (NobelPrize.org, 2024).

Othmar Zeidler (kiri), Michael Faraday (tengah), dan Herman Muller (kanan) yang sedang menerima penghargaan Nobel Prize.

Foto: Othmar Zeidler (kiri), Michael Faraday (tengah), dan Herman Muller (kanan) yang sedang menerima penghargaan Nobel Prize.

Awalnya dimaksudkan untuk memerangi serangga, gulma, tikus, jamur, dan gangguan lainnya, penggunaan luas senyawa-senyawa ini menyebabkan konsekuensi tak terduga, memengaruhi ekosistem dan kesehatan manusia karena efikasi yang berlangsung lama dan akumulasi dalam rantai makanan (Thuy, 2015).

Dampak negatif ini masih bertahan di lingkungan dan kesehatan manusia hingga saat ini.

Rilisnya “Silent Spring” Karya Rachel Carson

Buku Silent Spring dan penulisnya Rachel Carson

Foto: Buku Silent Spring dan penulisnya Rachel Carson

Sebuah momen penting dalam enivironmental science terjadi dengan rilisnya buku fenomenal Rachel Carson yang berjudul "Silent Spring" (Carson, 1964). Buku ini membahas dampak merugikan dari penggunaan pestisida secara luas, terutama DDT.

Dianggap sebagai salah satu buku sains terbesar yang pernah ditulis, "Silent Spring" mengungkapkan konsekuensi yang menghancurkan dari DDT terhadap ekosistem.

DDT telah dikaitkan dengan berbagai masalah kesehatan pada manusia, termasuk beberapa jenis kanker, kerusakan neurologis, masalah pernapasan, kerusakan organ reproduksi, dan gangguan pada fungsi kekebalan dan endokrin. Selain itu, DDT telah dikaitkan dengan banyak cacat lahir (Thuy, 2015).

Seiring dengan meningkatnya kesadaran akan bahayanya, penggunaan DDT mulai ditinggalkan, yang menyebabkan bahan kimia ini dilarang di Amerika Serikat, Jepang, dan Eropa Barat.

Hal ini diresmikan dalam Konvensi Stockholm tahun 2001 dimana DDT diklasifikasikan sebagai polutan prioritas. Meskipun langkah-langkah ini diambil, penggunaan ilegal DDT masih berlanjut di banyak negara dunia ketiga (Ullah et al., 2019).

Pada awal abad ke-20, para peneliti mulai mengeksplorasi modifikasi terhadap struktur piretrin alami. Pada tahun 1949, Schechter dan LaForge membuat terobosan dengan penemuan alletrin, senyawa piretroid pertama, yang secara signifikan meningkatkan efektivitas insektisida dari waktu ke waktu (Matsuo, 2019).

Senyawa-senyawa ini dikategorikan menjadi dua tipe, Tipe I dan Tipe II, berdasarkan komposisi kimianya. Alletrin, yang termasuk dalam kelompok senyawa piretroid Tipe I, membangkitkan kembali minat terhadap piretrin sebagai insektisida yang kuat (Castillo et al., 2022).

Penemuan ini memicu upaya global di kalangan ahli kimia untuk bereksperimen dengan perubahan pada komponen alkohol dan asam piretroid, akhirnya mengarah pada kemajuan dalam fungsi ester yang penting (Elliott, 1989).

Turunan-turunan ini terbukti jauh lebih kuat, hemat biaya, dan stabil dibandingkan dengan piretrin alami (Elliott, 1989). Meskipun rentan terhadap degradasi cepat saat terpapar sinar ultraviolet (Fernández-Álvarez et al., 2007), sifat ini justru membantu mencegah penumpukan di lingkungan.

Dalam beberapa tahun terakhir, telah muncul insektisida baru, seperti neonikotinoid, sebuah kelas insektisida neuroaktif yang memiliki kemiripan kimia dengan nikotin. Zat-zat ini berfungsi dengan menyebar secara sistematis ke seluruh jaringan tanaman, memberikan perlindungan kepada semua bagian tanaman.

Penemuan neonikotinoid dikaitkan dengan upaya perusahaan Shell dan Bayer, yang memulai pengembangannya pada tahun 1980-an dan 1990-an (Kollmeyer et al., 1999). Imidakloprid merupakan neonikotinoid pertama yang memasuki pasar insektisida, diregistrasikan sebagai "Hachikusan" di Jepang pada tahun 1993 (Oberemok et al., 2015).

Saat ini terdapat beragam neonikotinoid yang tersedia, termasuk acetamiprid, clothianidin, dinotefuran, imidakloprid, nitenpyram, nithiazine, tiakloprid, dan tiametoksam (Casida, 2018). Insektisida-insektisida ini mendapatkan popularitas yang cepat, dengan imidakloprid secara khusus menjadi salah satu insektisida yang paling banyak digunakan secara global mulai dari tahun 1999 hingga saat ini (Ihara & Matsuda, 2018).

Pada tahun 2016, pemerintah Prancis melarang penggunaan imidakloprid, clothianidin, tiametoksam, acetamiprid, dan tiakloprid, sementara European Food Safety Authority (EFSA) menyimpulkan pada Februari 2018 bahwa insektisida neonikotinoid yang dominan menimbulkan risiko bagi lebah liar dan lebah madu (Jactel et al., 2019).

Saat ini, selain neonikotinoid, dua kelompok insektisida paling umum yang digunakan adalah organofosfat (seperti klorpirifos) dan karbamat (seperti karbaril). Insektisida organofosfat membentuk sekitar setengah dari penggunaan insektisida global, dengan klorpirifos menjadi yang paling banyak digunakan, disetujui untuk digunakan pada lebih dari 50 jenis tanaman (Mora-Gutiérrez et al., 2021).

Mengenai insektisida karbamat, terdapat sekitar 50 senyawa dalam kategori ini, digunakan sebagai fungisida, herbisida, nematisida, dan insektisida (Mustapha et al., 2019). Karbaril, berupa padatan kristal putih, adalah karbamat pertama yang diperkenalkan secara komersial dan tetap lebih banyak digunakan daripada semua karbamat lainnya yang digabungkan hingga saat ini (Mora-Gutiérrez et al., 2021).

Referensi

·         Araújo, M. F., Castanheira, E. M. S., & Sousa, S. F. (2023). The Buzz on Insecticides: A Review of Uses, Molecular Structures, Targets, Adverse Effects, and Alternatives. Molecules (Basel, Switzerland), 28(8), 3641. https://doi.org/10.3390/molecules28083641

·         Carson, R. Silent Spring; Fawcett Publications: Greenwich, CT, USA, 1964.

·         Casagrande, R.A. The Colorado Potato Beetle: 125 Years of Mismanagement. Bull. Entomol. Soc. Am. 1987, 33, 142–150.

·         Casida, J.E. Neonicotinoids and Other Insect Nicotinic Receptor Competitive Modulators: Progress and Prospects. Annu. Rev. Entomol. 2018, 63, 125–144.

·         Castillo, G.; Barrios-Arpi, L.; Ramos-Gonzalez, M.; Vidal, P.; Gonzales-Irribarren, A.; Ramos-Cevallos, N.; Rodríguez, J.L. Neurotoxicity Associated with Oxidative Stress and Inflammasome Gene Expression Induced by Allethrin in SH-SY5Y Cells. Toxicol. Ind. Health 2022, 38, 777–788.

·         Davies, T.G.E.; Field, L.M.; Usherwood, P.N.R.; Williamson, M.S. DDT, Pyrethrins, Pyrethroids and Insect Sodium Channels. IUBMB Life 2007, 59, 151–162.

·         Elliott, M. The Pyrethroids: Early Discovery, Recent Advances and the Future. Pestic. Sci. 1989, 27, 337–351.

·         Fernández-Álvarez, M.; Lores, M.; Llompart, M.; García-Jares, C.; Cela, R. The Photochemical Behaviour of Five Household Pyrethroid Insecticides and a Synergist as Studied by Photo-Solid-Phase Microextraction. Anal. Bioanal. Chem. 2007, 388, 1235–1247.

·         Ihara, M.; Matsuda, K. Neonicotinoids: Molecular Mechanisms of Action, Insights into Resistance and Impact on Pollinators. Curr. Opin. Insect. Sci. 2018, 30, 86–92.

·         Jactel, H.; Verheggen, F.; Thiéry, D.; Escobar-Gutiérrez, A.J.; Gachet, E.; Desneux, N. Alternatives to Neonicotinoids. Environ. Int. 2019, 129, 423–429.

·         Knight, J.L.; Weaver, D.F. A Computational Quantitative Structure-Activity Relationship Study of Carbamate AnticonvulsantsnUsing Quantum Pharmacological Methods. Seizure 1998, 7, 347–354.

·         Kollmeyer, W.D.; Flattum, R.F.; Foster, J.P.; Powell, J.E.; Schroeder, M.E.; Soloway, S.B. Discovery of the Nitromethylene Heterocycle Insecticides. In Nicotinoid Insecticides and the Nicotinic Acetylcholine Receptor; Yamamoto, I., Casida, J.E., Eds.; Springer: Tokyo, Japan, 1999; pp. 71–89.

·         Majori, G. Short History of Malaria and Its Eradication in Italy. Mediterr. J. Hematol. Infect. Dis. 2012, 4, e2012016.

·         Matsuo, N. Discovery and Development of Pyrethroid Insecticides. Proc. Jpn. Acad. Ser. B Phys. Biol. Sci. 2019, 95, 378–400.

·         McLaughlin, G.A. History of Pyrethrum. In Pyrethrum: The Natural Insecticide; Casida, J.E., Ed.; Academic Press: New York, NY, USA, 1973; pp. 3–15.

·         Metcalf, R.L. A Century of DDT. J. Agric. Food Chem 1973, 21, 511–519.

·         Mora-Gutiérrez, A.; Rubio, C.; Romero-López, Á.A.; Rubio-Osornio, M. Neurotoxic Effects of Insecticides Chlorpyrifos, Carbaryl, Imidacloprid, in Different Animal Species. In Neurotoxicity-New Advances; Sabuncuoglu, S., Ed.; IntechOpen: Rijeka, Croatia, 2021.

·         Mustapha, M.U.; Halimoon, N.B.; Lutfi, W.; Johari, W.; Yunus, M.; Shukor, A.; Umar Mustapha, M.; Halimoon, N.; Johar, W.;Yunus, M. An Overview on Biodegradation of Carbamate Pesticides by Soil Bacteria. Pertanika J. Sci. Technol. 2019, 27, 547–563.

·         NobelPrize.org. Paul Müller – Biographical. Nobel Prize Outreach AB 2024. Accessed on 18 April 2024. Retrieved from : https://www.nobelprize.org/prizes/medicine/1948/muller/biographical/

·         Oberemok, V.V.; Laikova, K.V.; Gninenko, Y.I.; Zaitsev, A.S.; Nyadar, P.M.; Adeyemi, T.A. A Short History of Insecticides. J. Plant. Prot. Res. 2015, 55, 221–226.

·         Schwardt, H.H. Borax as an Insecticide for Protecting Seed. J. Econ. Entomol. 1930, 23, 401–404

·         Tanaka, K. γ-BHC: Its History and Mystery—Why Is Only γ-BHC Insecticidal? Pestic. Biochem. Physiol. 2015, 120, 91–100.

·         Thuy, T.T. Effects of DDT on Environment and Human Health. J. Educ. Hum. Soc. Sci. 2015, 2, 108–114.

·         Ullah, S.; Faiz, P.; Aamir, M.; Sabir, M.A.; Mahmood, Q. Occurrence and Spatio-Vertical Distribution of DDT in Soils of Abandoned DDT Factory Area, Amangarh, Pakistan. SN Appl. Sci. 2019, 1, 817.

Demikian ulasan mengenai sejarah isektisida. Jika mencari lembaga pelatihan pengendalian hama, Ahli Hama adalah lembaga independen yang dapat dipilih. Di sini menyediakan berbagai jenis layanan training mencakup:

  1. Basic Pest Management Training (BPT)
  2. Advanced Pest Management Training (APT)
  3. Pest Control Mentoring (PCM)
  4. In House Training

Selain itu, adapun layanan konsultan manajemen hama dan sertifikasi bebas hama yang dapat dipilih. Untuk informasi lebih lanjut silahkan menghubungi kami melalui +62 821-1625-0931.

Semoga ulasan di atas dapat bermanfaat ya.

KONSULTASI DENGAN AHLI HAMA