Larva Megaselia scalaris memiliki kebiasaan makan yang bervariasi, salah satunya mengonsumsi berbagai bahan organik yang telah membusuk. Kehadiran adaptasi ini mempermudah proses pemeliharaan mereka di lingkungan laboratorium sehingga dapat meningkatkan penggunaannya dalam berbagai eksperimen. Larva ini juga bisa menunjukkan berbagai perilaku opsional, termasuk predasi atau parasitisme. Oleh karena itu, M. scalaris dapat ditemukan dalam berbagai konteks, seperti penyelidikan forensik, hama dalam rearing invertebrata di laboratorium, penelitian bioassay, hingga pada kasus myiasis yang mempengaruhi manusia, hewan peliharaan, dan juga hewa ternak. Ragam perilaku dan dampak yang signifikan terkait dengan spesies ini telah menghasilkan banyak literatur yang terkait dengan hewan ini.
KLASIFIKASI
Megaselia Rondani adalah genus terluas dalam keluarga Phoridae, dengan sekitar 1400 spesies yang telah diidentifikasi, meskipun kemungkinan masih banyak spesies lain yang belum ditemukan dan dideskripsikan. Megaselia scalaris dikategorikan dalam subfamili Metopininae dan suku Gymnophorini. Klasifikasi ini didukung oleh data RNA ribosom 12S dan 16S mitokondria.
Cara membedakan jenis kelamin pada M. scalaris dewasa dapat dilakukan cukup mudah, dengan betina lebih mudah dikenali daripada jantan. M. scalaris memiliki banyak sinonim nama ilmiah yang dipengaruhi oleh persebaran biogeografinya, kerumitan klasifikasi taksonominya, dan dimorfisme seksual. Beberapa di antaranya adalah Phora scalaris Loew, 1866; Aphiochaeta xanthina Speiser, 1908; Obelosia plusiivorax Enderlein, 1919; dan Megaselia forticapilla Beyer, 1959.
DISTRIBUSI
M. scalaris umumnya terdapat di wilayah beriklim hangat, dengan distribusinya mencakup area Eropa selatan, negara-negara di sekeliling laut Mediterania, dan beberapa catatan menemukan lalat ini hingga ke bagian Eropa barat seperti Austria dan Jerman.
Di Amerika Utara, distribusinya bahkan mencapai lebih jauh ke arah utara. Namun, aktivitas manusia secara tidak sengaja telah menyebarkan M. scalaris ke seluruh dunia melalui jarak yang sangat jauh. Faktor-faktor yang mempengaruhinya seperti perjalanan pesawat udara sejauh 800 km atau transportasi melalui kapal dari Queensland ke Selandia Baru dan dari Cape Town ke titik paling selatan wilayah Amerika Selatan. Kehadirannya di pulau-pulau terpencil seperti Pulau Boatswainbird di dekat Pulau Ascension menunjukkan statusnya sebagai spesies yang sangat mahir beradaptasi. M. scalaris dibawa dari Afrika Utara ke Spanyol melalui proses ekspor bulu burung dan diintroduksi berkali-kali ke Britania Raya melalui kargo kapal. Di Eropa, M. scalaris dapat juga berkembang biak di dalam ruangan dan fenomena ini ditemukan di negara Belgia, Inggris, dan Belanda.
Gambar 1. Tahap dewasa, larva, dan pupa
TAHAP TELUR
Telur M. scalaris memiliki bentuk yang khas seperti perahu, dengan fitur berupa palisade berbentuk pelat datar yang mengelilingi plastron pernapasan, dilengkapi dengan stuktur tonjolan yang tersebar. Berbeda dengan telur Phoridae pada umumnya, telur spesies ini dirancang untuk didepositkan di lingkungan yang relatif cair. Meskipun struktur cangkangnya mirip dengan telur Drosophila melanogaster, terdapat perbedaan kuantitatif dalam ketebalan lapisan. Studi tentang perkembangan oosit mengungkapkan bahwa semua lalat betina memiliki telur matang pada usia 34 jam pada suhu 25°C. Biasanya lalat betina akan mulai bertelur pada hari kedua setelah emerge pada suhu 24°C. Lalat betina yang belum kawin dapat bertelur tanpa pembuahan, biasanya dimulai pada hari ketiga. Jumlah telur yang diletakkan dalam satu kali telur bervariasi dari 1 hingga 100 butir, tergantung pada kondisi lalat betina. Penelitian perkembangan oosit menunjukkan rentang oosit matang dari 12 hingga 77, dengan sinkronisasi di seluruh ovariole yang berbeda dan hanya satu oosit matang per ovariole.
TAHAP LARVA AND PUPA
Pada suhu 22°C, rasio antara tahap larva feeding dan tahap post-feeding adalah 1,2:1, sementara pada suhu 29°C, rasio tersebut meningkat menjadi 1,5:1. Kemampuan dalam membedakan antara larva tahap ketiga yang sedang dalam fase fedding dan post-feeding dapat bermanfaat dalam penyelidikan forensik. Meskipun panjang larva berkorelasi dengan usianya, korelasi ini dipengaruhi oleh suhu. Satu studi menunjukkan larva yang dibesarkan pada suhu 19°C dapat mencapai panjang maksimum 1–2 mm lebih besar daripada yang dibesarkan pada suhu 23°C atau 35°C.
Perilaku larva M. scalaris mirip dengan larva cyclorrhaphan biasa, yang mengonsumsi partikel materi organik tersuspensi dalam cairan, sering kali cairan itu kaya akan mikroorganisme. Materi organik padat ini awalnya diuraikan melalui sekresi enzim pencernaan ke sumber makanan yang potensial. Setelah menyerap partikel makanan itu, larva akan mengkonsentrasikannya dengan menghilangkan cairan berlebih dalam prosesnya.
Sama dengan larva cyclorrhaphan lainnya, larva M. scalaris memiliki tonjolan faringeal yang membantu dalam proses ini. Tonjolan ini memiliki perluasan dorsolateral (lamellae) yang sebagian memblokir alur di antara mereka dan berfungsi sebagai penyaring. Partikel-partikel akan bergerak mundur di atas lamella, sementara itu kelebihan cairan dibawa kedepan melalui saluran untuk dikeluarkan.
Ketika berada di dalam air, larva akan menunjukkan respons dengan menelan udara, yang mengubah kemampuan mereka dalam mengapung dan hal ini membantu mereka menghindari tenggelam. Oleh karena itu, larva lalat ini kadang-kadang dapat ditemukan mengapung di wadah yang terisi air. Di daerah tropis, larva M. scalaris diamati dapat berada di dalam kelapa yang membusuk dan ruang-ruang di dalam batang bambu raksasa yang terisi air. Di Amerika Utara, laporan menunjukkan larva M. scalaris berada di lubang pohon mapel yang terisi air dan di lubang batang yang telah mati.
Pada suhu 25°C, larva jantan M. scalaris mengalami pupasi dua hari lebih awal daripada larva betina, dan tahap pupa pada jantan juga lebih singkat. Kemunculan awal larva jantan ini dapat memberi mereka kesempatan untuk makan dan mengembangkan sperma sebelum larva betina muncul. Namun, beberapa penelitian tidak mengamati adanya perbedaan dalam durasi pupa antara jantan dan betina. Perbedaan ukuran dewasa antara kedua jenis kelamin tercermin dalam ukuran puparia.
TAHAP DEWASA
Betina M. scalaris menjadi reseptif terhadap jantan 24 jam setelah emerge, sementara jantan biasanya tidak mulai kawin hingga mencapai usia empat hari. Perilaku kawin melibatkan gerakan sayap dan kaki yang kompleks oleh jantan, yang direspon dengan gerakan menggoyangkan sisi tubuh dari betina. Setelah kawin, betina dapat dibawa oleh jantan selama proses nuptial flights. Durasi kawin biasanya berlangsung sekitar 32 detik, tetapi dapat bervariasi antara 16 dan 148 detik.
Durasi usia pada M. scalaris cenderung meningkat pada suhu yang lebih rendah. Misalnya, pada suhu 27°C, betina bertahan selama rata-rata 7 hari dan jantan selama 17 hari. Pada suhu 25°C, betina hidup sekitar 30 hari, sedangkan jantan bertahan sekitar 25 hari. Pada suhu 15°C, betina memiliki masa hidup sekitar 51 hari, dengan jantan hidup sekitar 43 hari. Studi yang menyelidiki struktur usia populasi yang dipelihara pada suhu 25°C melibatkan penandaan lalat individu dengan pigmen untuk melacak durasi usianya.
M. scalaris telah diamati mengunjungi bunga Aristolochia elegans dan Barbarea vulgaris untuk mendapatkan nektar. Selain itu, lalat dewasa juga dapat ditemukan pada kelinci mati yang terkubur di dalam tanah.
Gambar 2. Barbarea vulgaris dan Aristolochia elegans
RASIO JENIS KELAMIN
Rasio jenis kelamin M. scalaris dipengaruhi oleh variasi suhu. Ketika dibesarkan pada suhu 23°C, rasio jenis kelaminnya adalah 1,28 jantan per 1 betina (n = 643). Pada suhu 25°C, rasio ini turun menjadi 1,18 jantan per 1 betina (n = 1463). Antara 25°C dan 30°C, rasio tersebut seimbang menjadi 1:1. Namun, pada suhu 27°C, rasio tersebut bergeser menjadi 0,86 jantan per 1 betina. Perlu diperhatikan, di bawah kondisi tertentu dengan suhu 27°C, kelembaban relatif 75%, dan cahaya kontinu, rasio rata-rata turun drastis menjadi 0,43 jantan per 1 betina, dengan rentang rasio individu berkisar antara 0,13 hingga 0,60 jantan per 1 betina.
REFERENSI
Benner DB. 1985. Oocyte development and fecundity in Megaselia scalaris (Phoridae: Diptera). Int. J. Entomol. 27:280–88
Bohart GE, Gressitt JL. 1951. Filth-inhabiting flies of Guam. Bull. Bernice Bishop Mus. 204:1–152
Cook CE, Austin JJ, Disney RHL. 2004. A mitochondrial 12 S and 16 S rRNA phylogeny of critical genera of Phoridae (Diptera) and related families of Aschiza. Zootaxa 593:1–11
de Batist P. 2002. Bijdrage tot de studie van Megaselia scalaris (Loew), 1866 (Diptera, Phoridae), een niet zo fraaie aanwinst voor de Belgische fauna. Bull. Inst. R. Sci. Nat. Belg. Biol. 72:143–48
Harrison DA, Cooper RL. 2003. Characterization of development, behavior and neuromuscular physiology in the phorid fly, Megaselia scalaris. Comp. Biochem. Physiol. A 136:427–3
Moll EO, Legler JM. 1971. The life history of a Neotropical slider turtle, Pseudemys scripta (Schoepff ), in Panama. Bull. Los Angel. Cty. Mus. Sci. 11:1–102
Wolf KW, Liu G. 1996. Fine structure of the egg-shell in two humpbacked flies, Megaselia scalaris and Megaselia spiracularis (Diptera: Phoridae). Int. J. Insect Morphol. Embryol. 25:289–94
Zwart P, Disney RHL, de Batist P, Mutschmann F. 2005. The phorid “scuttle fly” (Megaselia scalaris): a threat to zoological collections and especially to amphibians? Zool. Med. BVZS 5:27–30