Pada abad ke-21, perubahan iklim, ketahanan pangan global, dan penyakit yang ditularkan oleh vektor telah menjadi tantangan besar. Selama dua dekade terakhir, hama serangga telah memainkan peran penting dalam kerugian pertanian dan penularan penyakitt yang telah menyebar secara global. Masalah-masalah tersebut diperkirakan akan semakin memburuk dengan terjadinya perubahan iklim dan kenaikan suhu bumi. Saat ini, salah satu metode pengendalian hama serangga yang paling banyak digunakan adalah melalui penggunaan pestisida kimia. Walaupun dalam pengaplikasiannya, pestisida kimia telah memberikan banyak kemudahan dan manfaat, penggunaan dalam jangka panjang telah diketahui dapat menimbulkan risiko bagi lingkungan dan kesehatan manusia. Selain itu, penggunaan pestisida kimia yang berlebihan telah mengembangkan mekanisme resistensi pada banyak spesies hama. Oleh karena itu, pendekatan pengendalian hama alternatif yang ramah lingkungan dan lebih berkelanjutan sangat diperlukan dan telah menjadi fokus utama penelitian manajemen hama modern (Ying et al.,2023 ; Singh et al.,2022).
Pengendalian genetik atau dikenal sebagai Genetic Pest Managementt (GPM), adalah metode pengendalian biologis untuk spesies hama yang menggunakan modifikasi genetik yang dapat diturunkan ke dalam populasi di alam melalui perkawinan intraspesifik. Salah satu upaya pengaturan populasi serangga melalui pendekatan genetik, seperti Sterile Insect Technique (SIT) telah terbukti cukup efektif dalam menangani masalah hama serangga. Namun, walaupun SIT merupakan salah satu penemuan GMP yang efektif dan paling berhasil, terdapat kekurangan dalam implementasinya di lapangan. Kekurangan dari metode SIT adalah bahwa dalam beberapa kasus, ada kemungkinan bahwa beberapa betina yang dilepaskan secara tidak sengaja bisa masuk ke populasi alami dan kawin dengan jantan alami, bukan dengan jantan steril yang telah dilepaskan. Hal ini dapat mengurangi efektivitas program SIT karena mengurangi jumlah perkawinan yang terjadi antara jantan steril dan betina alami. Selain itu, diperlukan jumlah serangga yang sangatt besar untuk dilepaskan ke alam untuk memastikan bahwa sebagian besar perkawinan melibatkan satu pasangan yang steril sehingga pemisahan jenis kelamin serangga secara efisien di fasilitas pembiakan massal telah menjadi faktor penting dalam menentukan efisiensi SIT. Paparan radiasi selama proses SIT juga dikhawatirkan akan mengurangi kebugaran serangga sehingga menghasilkan serangga yang kurang kompetitif dibandingkan dengan serangga liar di alam. Oleh karena itu, strategi pengendalian genetik yang lebih efektif diperlukan unttuk meningkatkan efikasi keseluruhan program SIT (Ying et al.,2023 ; Singh et al.,2022).
Pengembangan teknologi pengendalian hama berbasis genetik lainnya, seperti CRISPR (Clustered Regularly Interspaced Short Palindromic Repeats), bersama dengan peningkatan sumber daya atau informasi genomik terbaru yang berkualitas tinggi dari berbagai jenis spesies, telah mendapatkan perhatian karena menunjukkan potensi yang menjanjikan untuk digunakan dalam GPM dalam skala luas yang spesifik untuk hama tertentu (Ying et al.,2023 ; Singh et al.,2022).
CRISPR adalah teknologi pengeditan gen yang memungkinkan peneliti untuk memodifikasi genom secara spesifik. Teknologi ini memiliki kemampuan untuk memperbaiki mutasi pada serangga, termasuk meningkatkan ketidakmampuan untuk berkembang biak pada betina atau meningkatkan daya saing serangga jantan yang dilepaskan. Dengan menggunakan CRISPR, peneliti dapat mengatasi kekurangan dalam metode SIT dengan membuat perubahan genetik yang diinginkan pada serangga yang akan dilepaskan, sehingga meningkatkan efektivitas pengendalian hama secara keseluruhan (Ying et al.,2023 ; Singh et al.,2022).
Gambar 1 Skema Teknologi RNAi dan CRISPR-Cas pada Tribolium castanem (Perkin al.,2016)
CRISPR berasal dari sistem imun adaptif bakteri dan arkea. CRISPR terdiri dari dua komponen utama, yaitu enzim nuklease yang disebut Cas (CRISPR-assosiated) yang bertindak sebagai gunting untuk memotong DNA dan sgRNA (single chimeric guide RNA) yang bertugas membimbing Cas untuk memotong DNA pada lokasi yang tepat (DNA target). Ketika CRISPR memotong DNA akan terbentuk patahan ganda dalam rantai DNA. Kemudian, sel akan bisa memperbaiki patahan tersebut dengan dua cara, yaitu dengen membentuk non-homolog end-joining (NHEJ) dan homology-directed repair (HDR) (Gambar 1) (Ying et al.,2023)
NHEJ akan menyebabkan penambahan atau penghapusan bagian-bagian acak (tidak presisi) atai tidak terarah dari DNA. Dampak dari perubahan yang tidak terarah ini adalah bahwa gen yang mengalami mutasi tersebut mungkin tidak lagi berfungsi dengan benar, atau bahkan bisa sepenuhnya tidak berfungsi sama sekali. Gen yang tidak berfungsi secara penuh atau tidak sama sekali disebut dengan knock out gen. Hal tersebut akan menyebabkan perubahan signifikan dalam sifat atau fungsi organisme. Sedangkan HDR memperbaiki patahan DNA dengan cara yang lebih terarah, menghasilkan mutasi spesifik atau memperkenalkan gen baru ke dalam genom. , HDR (Homology-Directed Repair) cenderung tidak menghasilkan "knock-out" gen. Dalam HDR, karena menggunakan template DNA yang identik atau mirip dengan daerah yang rusak, prosesnya cenderung menghasilkan perbaikan yang tepat. Sehingga, HDR biasanya digunakan untuk mengganti atau memperkenalkan sekuens DNA yang spesifik ke dalam genom. HDR cenderung tidak menyebabkan kehilangan fungsi gen, kecuali jika mutasi yang diinginkan dimaksudkan untuk menghasilkan efek tersebut (Ying et al.,2023).
Gambar 2 Teknik Serangga Steril (SIT) dan Strategi Pengendalian Genetik Berbasis CRISPR (Ying et al.,2023).
Gambar 3 Teknik Serangga Steril melibatkan penggunaan CRISPR/Cas9 akan memandu RNA untuk secara genetik menciptakan kematian pada induk betina dan menghasilkan jantan yang mandul. Jantan akan dilepaskan untuk kawin dengan betina liar yang pada gilirannya akan menghasilkan telur yang tidak akan survive (Courtney, 2019).
Hingga saat ini terdapat beberapa jenis strategi pengendalian genetik berbasis CRISPR yang telah dikembangkan untuk mengontrol hama serangga (Gambar 2) (Ying et al.,2023) :
a. CRISPR-based gene drive : Menggunakan strategi gene drive untuk mengenalkan gen yang diinginkan ke dalam populasi organisme alami dari gen tersebut. Efek dari gene drive adalah super-Mendelian inheritence , di mana gen yang dimodifikasi diturunkan kepada keturunan dengan tingkat keberhasilan dan kecepatan yang jauh lebih tinggi daripada yang diharapkan berdasarkan hukum Mendel. Metode ini memungkinkan untuk mengintrogresikan atau mengenalkan gen yang menyebabkan efek tertentu, seperti letalitas dan bias seks, atau untuk memodifikasi populasi dengan menyebarkan varian genetik yang menghilangkan sifat yang merugikan ke dalam populasi organisme target dengan cepat dan efektif. Dalam strategi ini, digunakan bantuan elemen genetik egois seperti transposon atau bakteri intraseluler seperti Wolbachia.
b. CRISPR-Cas9 sex-ratio distortion (CRISPRSRD) : Strategi ini memanipulasi rasio seks serangga dengan mengganggu kromosom seks, menghasilkan keturunan yang cenderung menjadi satu jenis kelamin. Contohnya, "X-shredding" digunakan untuk menghasilkan keturunan jantan yang dominan dengan mengganggu kromosom X pada serangga betina Anopehels gambiae dan Drosophila melanogaster.
c. CRISPR-engineered genetic sexing strains (CRISPR-engineered GSS) : Strategi ini bertujuan untuk mengembangkan galur serangga dengan penanda genetik yang membedakan antara jenis kelamin, yang memungkinkan pemisahan jenis kelamin secara selektif. Dapat dicapai dengan memperkenalkan mutasi pada gen yang mengatur karakteristik fenotipizk yang berbeda antara jantan dan betina. Misalnya, ada gen yang mengatur warna mata, ukuran tubuh, atau pola sayap yang berbeda antara jantan dan betina. Sebagai contoh, jika gen yang mengatur warna mata diubah sedemikian rupa sehingga jantan memiliki warna mata biru dan betina memiliki warna mata merah, maka ketika serangga mencapai tahap dewasa, peneliti dapat dengan mudah memisahkan jantan dan betina berdasarkan warna mata mereka. Selanjutnya, galur serangga yang paling efektif dalam memisahkan jenis kelamin dipilih untuk reproduksi selanjutnya. Galur serangga yang telah dipilih kemudian direproduksi secara massal untuk digunakan dalam aplikasi lapangan.
d. Precision guided SIT (pgSIT) : Strategi ini menggunakan CRISPR untuk secara presisi menargetkan gen yang penting untuk kelangsungan hidup betina dan kesuburan jantan. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk membunuh 100% betina dan membuat 100% jantan menjadi steril. Contohnya termasuk penggunaan CRISPR untuk menargetkan gen-gen seperti Sex-lethal (Sxl) pada Drosophila melanogaster atau gen myosin heavy chain pada Aedes aegypti (Gambar 3).
Teknologi CRISPR memberikan manfaat yang menjanjikan dalam upaya pengendalian populasi serangga. Namun, seperti halnya dengan banyak inovasi teknologi, ada tantangan yang perlu diatasi. Salah satu tantangan utama adalah pengembangan resistensi terhadap strategi pengendalian seperti gen drive, CRISPRSRD, dan pgSIT. Resistensi dapat terjadi ketika kita memasukkan gen tertentu ke dalam serangga untuk mengontrol mereka dan kemungkinan bahwa serangga tersebut dapat mengalami mutasi secara alami, misalnya mutasi spontan dalam gen-gen tersebut. Mutasi spontan dalam urutan regulasi atau pengkodean yang disisipkan dapat menghambat fungsi sistem transgenik tersebut, sehingga memungkinkan pengembangan resistensi dalam populasi serangga target. Untuk mengatasi tantangan tersebut, disarankan untuk menggunakan sistem bertumpuk atau pendekatan di mana kita menggunakan lebih dari satu cara untuk mengontrol serangga. Misalnya, kita bisa menggunakan dua atau lebih metode yang berbeda untuk membuat serangga mati atau tidak dapat berkembang biak. Ini membantu agar serangga tidak menjadi kebal terhadap satu metode saja (Ying et al.,2023).
Selain itu, dalam banyak strategi berbasis CRISPR, tantangan utama yang dihadapi adalah bagaimana mengendalikan efek letalitas, kesterilan, dan efek penyortiran jenis kelamin dalam populasi serangga yang dimodifikasi secara genetik agar dapat mencapai tujuan pengendalian dengan efektif tanpa mengganggu ekosistem atau menyebabkan konsekuensi yang tidak diinginkan. Hal tersebut dapat diatasi dengan mengaplikasikan sistem kondisional yang mengacu pada kemampuan untuk mengendalikan kapan gen yang dimodifikasi secara genetik aktif atau tidak aktif. Sistem tersebut penting untuk dipelajadi karena dalam beberapa strategi pengendalian teknologi CRISPR, seperti pgSIT, sulit untuk menjaga populasi serangga yang dimodifikasi dengan cara yang diinginkan. Contohnya, dalam pgSIT, kita ingin memastikan bahwa gen yang menghasilkan ketidaksuburan pada serangga jantan hanya aktif ketika diperlukan, tetapi tidak aktif pada saat lain. Dengan menggunakan sistem ekspresi kondisional, kita dapat mengontrol kapan gen tersebut aktif atau tidak aktif, sehingga memungkinkan kita untuk merancang strategi pengendalian yang lebih efektif dan dapat diimplementasikan dengan lebih baik (Ying et al.,2023).
Penting untuk memperhitungkan regulasi dalam pengembangan dan penerapan teknologi CRISPR untuk pengendalian populasi serangga. Regulasi ini mencakup serangkaian aturan dan pedoman yang ditetapkan oleh pemerintah atau badan pengatur untuk mengatur penggunaan teknologi tersebut. Tujuan utamanya adalah untuk memastikan bahwa penggunaan CRISPR dilakukan secara aman, etis, dan bertanggung jawab. Regulasi bertujuan untuk memastikan bahwa CRISPR tidak menimbulkan dampak negatif yang tidak terduga pada ekosistem, spesies non target, dan keselamatan masyarakat. Diperlukan evaluasi risiko, pemantaun, dan pelaporan yang ketat untuk menilai potensi risiko serta mengawasi keberjalanan CRISPR di suatu wilayah. Pengaplikasian CRISPR juga memerlukan izin dan partisipasi dari publik, sehingga kepentingan masyarakat dapat dipertimbangkan (Ying et al.,2023). .
Dengan memperhitungkan tantangan dan regulasi yang ditetapkan, diharapkan penggunaan teknologi CRISPR dalam pengendalian serangga dapat dilakukan dengan cara yang aman, efektif, dan etis, serta menghasilkan manfaat yang berkelanjutan bagi lingkungan dan masyarakat. Selain itu, masih diperlukan partisipasi dari para ahli terkait penelitian dan pengembangan metode terbaru pengendalian hama yang berkelanjutan dalam skala laboratorium dan skala lapangan.
REFERENSI
Courtney, Ross. (2019). Genetic Control for Spotted Wing Drosophila. https://www.goodfruit.com/genetic-control-for-spotted-wing-drosophila/ Diakses pada 6 April 2024.
Perkin, L. C., Adrianos, S. L., & Oppert, B. (2016). Gene disruption technologies have the potential to transform stored product insect pest control. Insects, 7(3), 46.
Singh, S., Rahangdale, S., Pandita, S., Saxena, G., Upadhyay, S. K., Mishra, G., & Verma, P. C. (2022). CRISPR/Cas9 for insect pests management: a comprehensive review of advances and applications. Agriculture, 12(11), 1896.
Ying, Y. A. N., Aumann, R. A., Häcker, I., & Schetelig, M. F. (2023). CRISPR-based genetic control strategies for insect pests. Journal of Integrative Agriculture, 22(3), 651-668.