Meningkatnya perdagangan dan distribusi di seluruh dunia, serta banyaknya aktivitas migrasi manusia disertai perubahan lingkungan, mampu mendorong terbentuknya spesies nyamuk invasif di luar jangkauan geografisnya. Dua spesies dari genus Aedes yang teridentifikasi invasif di Indonesia adalah Aedes albopictus dan Aedes aegypti.
Nyamuk Aedes (Stegomyia) aegypti (Linnaeus, 1762) dapat menjadi sangat invasif karena telurnya mampu bertahan hidup selama berbulan-bulan dalam kondisi kering dan tahan terhadap transportasi jangka panjang. Keberadaan nyamuk ini tidak diinginkan karena mereka pembawa penyakit.
Populasi nyamuk Aedes aegypti yang terus meningkat dapat memperbesar risiko penyebaran penyakit pada manusia. Oleh karena itu, upaya untuk mengurangi populasinya menjadi sangat penting.
Baru-baru ini, program Sterile Insect Technique (SIT) dilaporkan berhasil mengendalikan populasi hama di berbagai belahan dunia, termasuk nyamuk. SIT kini diakui sebagai metode efektif untuk menekan populasi nyamuk yang menjadi vektor utama penyakit pada manusia, seperti Aedes aegypti dan Aedes albopictus, melalui pendekatan bertahap yang terkontrol.
Artikel ini akan membahas mengenai nyamuk Aedes aegypti pembawa penyakit dan cara mengendalikan populasinya dengan menggunakan program SIT. Yuk simak uraian di bawah ini.
Aedes aegypti dikenal sebagai vektor beberapa virus termasuk virus demam kuning, virus dengue, virus chikungunya, dan virus Zika. Selain itu, nyamuk ini diduga sebagai vektor potensial dari virus Venezuelan Equine Encephalitis dan virus West Nile.
Distribusi nyamuk Aedes telah tersebar ke berbagai wilayah tropis, termasuk Afrika (tempat asalnya) dan sejumlah wilayah subtropis seperti Amerika Serikat bagian tenggara, Timur Tengah, Asia Tenggara, Kepulauan Pasifik dan Hindia, serta Australia utara.
Nyamuk Aedes aegypti dewasa memiliki ukuran yang relatif kecil dengan pola hitam dan putih pada kaki dan bagian tubuhnya. Aedes aegypti memiliki karakteristik yang mirip dengan spesies lain dari genus yang sama, seperti Aedes albopictus, Aedes japonicus, dan Aedes cretinus. Ciri spesifik yang dapat membedakannya dengan spesies lain adalah keberadaan sisik perak yang membentuk pola melengkung atau berbentuk setengah lingkaran di atas latar belakang hitam pada bagian atas tubuh nyamuk (bagian toraks).
Mamalia adalah inang utama dari nyamuk Aedes aegypti, terkhususnya manusia. Mereka adalah organisme diurnal dan crepuscular, yang artinya aktif mencari inang di siang hari dan fajar, serta senja (ketika cahaya matahari redup).
Nyamuk ini memiliki kemampuan untuk menghisap darah beberapa kali dalam satu siklus gonotrofik (proses makan darah hingga bertelur). Perilaku ini meningkatkan risiko penyebaran penyakit, karena setiap kali menghisap darah, nyamuk tersebut dapat menularkan patogen ke banyak individu, yang pada akhirnya dapat memperluas dan memperburuk wabah penyakit.
Secara historis, Aedes aegypti hidup di hutan dan menggunakan lubang pohon sebagai tempat berkembang biak. Namun, seiring waktu, nyamuk ini beradaptasi dengan lingkungan perkotaan dan kini memanfaatkan berbagai wadah buatan seperti vas, tangki air, dan ban bekas.
Aedes aegypti juga bisa berkembang biak di habitat perairan bawah tanah seperti tangki septik, serta wadah air baik di dalam maupun luar ruangan. Kemampuan untuk berkembang biak di luar ruangan ini dapat menyebabkan peningkatan populasi nyamuk dan membuat pengendalian menjadi lebih sulit.
Infeksi yang disebabkan oleh virus dengue pertama kali dilaporkan di Indonesia pada tahun 1968 di Jakarta dan Surabaya (Jawa Timur), diikuti oleh Bandung (Jawa Barat) dan Yogyakarta. Sejak saat itu, Kementerian Kesehatan mulai mencatat kasus-kasus dugaan dengue yang terjadi di Indonesia.
Pada awal tahun 1980-an, jumlah kasus tahunan meningkat dari 10.000 menjadi 30.000, dan dalam dekade terakhir, insiden yang dilaporkan berkisar antara 30.000 hingga 60.000 kasus per tahun. Lonjakan signifikan terjadi pada tahun 1973 dan 1988.
Saat ini, dengue telah menyebar ke seluruh 35 provinsi di Indonesia, dengan jumlah kasus tahunan berkisar antara 10.000 hingga 25.000.
Di sisi lain, chikungunya pertama kali ditemukan di Indonesia pada tahun 1970-an. Wabah awal terjadi di Sumatera Selatan, Jawa, dan Kalimantan Barat, kemudian menyebar ke Sulawesi, Nusa Tenggara, dan Papua. Wabah chikungunya cenderung muncul setiap 20 tahun.
Teknik serangga steril (Sterile Insect Tehnique - SIT) bertujuan untuk mengurangi populasi serangga hama target dengan memproduksi massal, mensterilkan secara seksual, dan kemudian melepaskan individu sejenis (dalam hal ini nyamuk Aedes aegypti). SIT umumnya sangat spesifik terhadap target dan karenanya dianggap ramah lingkungan.
Nyamuk jantan yang dilepaskan diharapkan bisa bersaing dengan nyamuk jantan liar untuk mendapatkan nyamuk betina. Namun, perkawinan ini tidak akan menghasilkan keturunan yang dapat hidup atau subur.
Jika banyak nyamuk mandul dilepaskan di suatu area selama waktu yang cukup lama, populasi nyamuk liar akan berkurang, rasio nyamuk subur terhadap nyamuk mandul akan terus menurun, dan akhirnya populasi nyamuk subur bisa punah di area tersebut.
SIT merujuk pada penggunaan serangga yang disterilkan dengan radiasi (sinar gamma dan sinar-X). Dengan dosis radiasi yang tepat, serangga menjadi steril tetapi masih mampu bersaing dalam kawin.
Pendekatan bertahap telah diusulkan untuk menilai keberhasilan program SIT. Pendekatan ini melibatkan beberapa fase evaluasi.
Fase I: Menilai kelangsungan hidup, umur panjang, dan kemampuan terbang nyamuk jantan yang disterilkan serta dampaknya pada kesuburan betina dalam kondisi laboratorium yang terkontrol.
Penting untuk memelihara serangga dalam jumlah besar di laboratorium, memilih galur yang cocok, dan memastikan serangga tumbuh serentak dan siap dilepaskan.
Fase II: Menguji kesuburan betina, penetasan telur, dan kemampuan nyamuk jantan untuk menyebabkan kemandulan dalam studi semi-lapangan.
Jantan steril harus dapat bertahan hidup hingga dewasa, memiliki mobilitas yang cukup untuk mencari makanan, tempat berteduh, atau pasangan, serta menghindari predator. Mereka juga harus mampu menemukan betina liar, melakukan perilaku kawin, dan berhasil mentransfer sperma steril untuk mencegah betina kawin ulang.
Fase III: Melakukan uji coba lapangan besar untuk memastikan bahwa populasi nyamuk target berkurang secara signifikan dibandingkan dengan area kontrol.
Fase IV: Mengevaluasi efektivitas SIT ketika diterapkan dalam skala yang lebih luas dan operasional.
Nah, demikian informasi terkait gen yang memfasilitasi pengembangan resistansi pestisida pada nyamuk. Semoga bermanfaat, ya!
Untuk informasi lebih lanjut silahkan menghubungi kami melalui +62 821-1825-0931
Author : Dherika
Bourtzis, K., & Vreysen, M.J.B. (2021). Sterile Insect Technique (SIT) and its applications. Insects, 12(638): 1-7. https://doi.org/10.3390/insects12070638/.
CDC. (2020). Emergency Preparedness and Response. Retrieved from https://emergency.cdc.gov/ (Accessed: August 13th, 2024).
ECDC. (2023). Aedes aegypti – Factsheet for Experts. Retrieved from https://www.ecdc.europa.eu/en/disease-vectors/facts/mosquito-factsheets/aedes-aegypti (Accessed: August 14th, 2024)
Kapranas, A., Collatz, J., Antonios, M., Panagiotis, M. (2022). Review of the role of sterile insect technique within biologically-based pest control – An appraisal of existing regulatory frameworks. Entomol Exp Appl, 170: 385–393. DOI: 10.1111/eea.13155.
Ridha MR, Marlinae L, Zubaidah T, Fadillah NA, Widjaja J, Rosadi D, Rahayu N, Ningsih M, Desimal I, and Sofyandi A. (2023). Control methods for invasive mosquitoes of Aedes aegypti and Aedes albopictus (Diptera: Culicidae) in Indonesia. Veterinary World, 16(9): 1952–1963. DOI: www.doi.org/10.14202/vetworld.2023.1952-1963.