Laba-laba janda hitam yang berasal dari genus Lactrodectus dalam keluarga Theridiidae merupakan salah satu hama urban invasif yang dapat menganggu kesehatan manusia dan merusak integritas ekosistem.
Terdapat sekitar 31 spesies di dalam genus Lactrodectus yang tersebar di seluruh dunia, kecuali wilayah antartika. Hingga saat ini, laba-laba janda hitam telah memperluas wilayah penyebarannya melalui jalur yang tidak disengaja, misalnya melalui pengiriman kargo dan aktivitas turis atau perjalanan wisatawan antar negara.
Spesies ini dilaporkan telah menjadi masalah hama urban pada beberapa negara, seperti Jepang, Indonesia, Amerika Serikat, dan Australia.
Morfologi dan Siklus Hidup
Laba-laba janda hitam betina biasanya memiliki panjang tubuh sekitar 1.5 cm, dengan rentang kaki sekitar 4-5 cm. Sedangkan, pejantan biasanya jauh lebih kecil, sering kali hanya sekitar seperempat ukuran betina. Betina dewasa umumnya berwarna hitam mengkilap dengan tanda berbentuk jam pasir merah di bagian bawah perut, sedangkan pejantan dan laba-laba muda sering kali berwarna coklat atau abu-abu dengan tanda yang kurang mencolok.
Laba-laba janda hitam adalah hewan yang mengalami metamorfosis tidak sempurna sehingga dalam siklus hidupnya hanya melibatkan tiga tahap utama, yaitu telur, nimfa, dan dewasa.
Siklus hidup laba-laba janda hitam dimulai dengan telur yang diletakkan oleh betina di dalam egg sacs yang keras. Egg sacs atau kantung telur tersebut biasanya berwarna putih, cokelat, atau abu-abu dengan diameter antara 12-15 mm. Setiap egg sacs yang dihasilkan oleh betina janda hitam dapat berisi antara 100 hingga 400 telur, tergantung pada spesies dan kondisi lingkungannya.
Telur laba-laba janda hitam biasanya membutuhkan waktu beberapa minggu untuk menetas menjadi nimfa. Nimfa adalah versi miniatur dari laba-laba dewasa dan akan mulai aktif mencari makanan setelah keluar dari kantung telur. Dari banyaknya nimfa yang dihasilkan, hanya segelintir yang dapat bertahan hidup, karena selama periode tersebut, nimfa berada dalam kondisi populasi yang padat sehingga menciptakan lingkungan yang kompetitif.
Dalam kondisi tersebut, nimfa janda hitam sering menunjukkan perilaku kanibalisme untuk mengurangi jumlah kompetitor sehingga dapat menyesuaikan jumlah populasi dengan jumlah sumber daya yang tersedia. Kanibalisme juga dapat berfungsi sebagai mekanisme seleksi alami yang memastikan hanya nimfa yang paling kuat dan paling mampu bertahan yang akan hidup hingga dewasa.
Nimfa kemudian akan berkembang menjadi laba-laba dewasa setelah beberapa kali melewati tahap pergantian kulit. Saat mencapai tahap dewasa, laba-laba janda hitam siap untuk kawin dan berkembang biak kembali.
Salah satu fakta menarik mengenai laba-laba ini, sebutan “janda hitam” sebetulnya berasal dari perilaku betina yang terkadang membunuh dan memakan jantan setelah kawin. Hal ini dapat terjadi karena beberapa alasan, termasuk kebutuhan akan nutrisi tambahan untuk reproduksi atau untuk menghilangkan kompetisi dengan jantan lain.
Dalam beberapa kasus, kannibalisme pasca-kawin juga dapat meningkatkan kesempatan reproduksi betina dengan menghilangkan potensi persaingan dari jantan yang telah kawin. Pada beberapa spesies laba-laba, jantan yang masih hidup setelah kawin mungkin mencoba untuk kawin lagi dengan betina lain atau bahkan dengan betina yang sama. Dengan memakan jantan, betina memastikan bahwa energi dan sumber daya yang ada di sekitarnya lebih sedikit terbagi.
Meskipun terdengar tidak lazim, kannibalisme pasca-kawin pada laba-laba janda hitam dapat dianggap sebagai perilaku adaptif yang membantu memastikan kelangsungan hidup dan kesuksesan reproduksi betina. Perilaku ini membantu memastikan bahwa betina memiliki nutrisi yang cukup dan lingkungan yang lebih sedikit kompetitif untuk menghasilkan dan merawat keturunannya. Hal ini juga bisa dilihat sebagai cara untuk memastikan bahwa betina memiliki kendali penuh atas lingkungan reproduksinya, memaksimalkan peluang bahwa keturunannya akan bertahan hidup.
Mengapa Mereka Menjadi Hama?
Laba-laba janda hitam dikategorikan sebagai hama karena beberapa alasan utama yang berkaitan dengan potensi bahaya mereka terhadap manusia, hewan peliharaan, dan integritas ekosistem.
Habitat
Laba-laba janda hitam sering ditemukan di lingkungan yang dekat dengan manusia. Mereka sering ditemukan di area yang gelap dan sepi di dalam rumah seperti garasi, gudang, dan ruang bawah tanah. Mereka juga dapat bersarang di taman, tumpukan kayu, dan di bawah batu di sekitar rumah.
Kehadiran laba-laba janda hitam di lingkungan manusia, seperti di dalam rumah atau tempat kerja, dapat mengganggu aktivitas sehari-hari dan menimbulkan ketidaknyamanan. Mereka sering berada di tempat-tempat yang sering diakses manusia, sehingga meningkatkan risiko kontak dan peluang gigitan.
Selain itu, banyak orang memiliki ketakutan atau fobia terhadap laba-laba, yang dikenal sebagai arachnophobia. Kehadiran laba-laba janda Hitam, terutama yang terkenal dengan gigitan beracunnya, dapat menyebabkan kecemasan dan ketidaknyamanan psikologis yang cukup signifikan.
Gigitan Beracun
Beberapa laba-laba, termasuk laba-laba janda hitam, dapat merespons gerakan atau sentuhan dengan refleks gigitan sebagai bentuk pertahanan yang cepat. Hal ini dapat terjadi terutama ketika manusia secara tidak sengaja mengganggu laba-laba tanpa menyadari keberadaan mereka.
Gigitan laba-laba janda hitam dilengkapi dengan bisa beracun yang mengandung neurotoksin, bernama α-latrotoxin.
Paparan neurotoxin tersebut berpotensi menyebabkan berbagai gejala yang disebut dengan lactrodectism pada manusia dan jenis vertebrata lainnya. Gejala tersebut meliputi kram otot, rasa sakit di selutuh tubuh, mual, muntah, kejang otot, dan kesulitan bernapas.
Efek paparan neurotoxin tersebut bervariasi tergantung pada seberapa banyak racun yang disuntikkan dan sensitivitas individu terhadap racun tersebut. Dalam beberapa kasus yang parah, gigitan laba-laba janda hitam dapat mengakibatkan komplikasi medis serius, seperti pembengkakan dan syok anafilaksis yang ditandai dengan penurunan tekanan darah dan gangguan saluran pernafasan.
Gigitan laba-laba janda hitam juga dapat menyebabkan luka yang terbuka pada kulit. Apabila luka yang terbuka tersebut tidak diobati dengan baik, maka akan meningkatkan risiko infeksi sekunder oleh bakteri yang lebih lanjut akan menyebabkan abses dan selulitis.
Pada kasus yang sangat langka, gigitan laba-laba janda hitam dapat menyebabkan efek sistemik yang lebih luas, seperti gangguan pada sistem kardiovaskular. Efek sistemik tersebut dapat terjadi terutama pada individu yang rentan, seperti anak kecil atau orang dewasa yang telah memiliki riwayat penyakit bawaan sebelumnya.
Selain dampak fisik, gigitan laba-laba janda hitam juga dapat menyebabkan dampak psikologis yang signifikan, termasuk kecemasan, stres, atau trauma psikologis yang terkait dengan pengalaman gigitan yang menyakitkan.
Dampak Ekologis
Selain menjadi ancaman bagi kesehatan manusia dan hewan vertebrata lainnya, dampak invasif dari laba-laba janda hitam terhadap integritas ekosistem juga telah menjadi kekhawtiran.
Secara umum, laba-laba sebenarnya merupakan predator generalis yang memainkan peran penting dalam kontrol hama alami di ekosistem darat. Sebagai predator generalis mereka akan memangsa berbagai jenis hewan kecil yang terjebak di dalam jaring mereka, termasuk serangga, laba-laba dari spesies lain, dan bahkan kelelawar atau burung kecil yang tersangkut.
Namun, meskipun laba-laba janda hitam dapat berkontribusi dalam kontrol hama, keberadaan mereka sebagai spesies invasif dapat memiliki dampak ekologis yang signifikan. Hal ini disebabkan karena sifat generalisnya yang mampu memakan spesies hewan apa pun yang terperangkap dalam jaring mereka, tanpa memandang apakah itu spesies asli atau non-asli, hama atau musuh alami, atau bahkan spesies yang terancam punah.
Perilaku makan seperti itu dapat menyebabkan dislokasi kompetitif terhadap spesies endemik dan komunitas lokal. Akibatnya, mereka dapat memengaruhi struktur dan fungsi ekosistem tempat mereka menetap, bahkan menyebabkan penurunan keanekaragaman hayati.
Dampak ekologis yang disebabkan oleh laba-laba hitam sudah terjadi pada beberapa negara. Misalnya di Selandia Baru, spesies invasif laba-laba janda hitam (Latrodectus hasselti) telah terbukti menyebabkan penurunan populasi beberapa spesies burung endemik, termasuk burung kiwi, yang merupakan spesies yang terancam punah. Laba-laba janda hitam berkompetisi dengan burung-burung tersebut untuk sumber daya dan tempat bersarang, yang mengakibatkan penurunan populasi mereka.
Pengendalian Hama Terpadu Untuk Mengatasi Keberadaan Laba-Laba Janda Hitam
Mengatasi keberadaan laba-laba janda hitam membutuhkan pendekatan menyeluruh yang mencakup berbagai strategi pengendalian dalam kerangka pengendalian hama terpadu.
Pengendalian Mekanis
Metode pengendalian mekanis merupakan salah satu komponen penting dalam pengendalian hama terpadu (IPM) yang bertujuan untuk mengurangi populasi hama melalui tindakan fisik atau mekanis.
Pengendalian mekanis melibatkan penggunaan metode fisik atau mekanis seperti pembersihan dan modifikasi habitat, penggunaan penghalang dan penyegelan, pembersihan sarang laba-laba secara manual, dan peggunaan perangkap fisik.
Laba-laba janda hitam sering ditemukan di tempat-tempat yang gelap, sepi, dan terlindungi seperti garasi, gudang, ruang bawah tanah, dan tumpukan kayu. Membersihkan dan merapikan area-area ini dapat mengurangi tempat persembunyian mereka. Misalnya menyingkirkan tumpukan kayu dan puing-puing yang dapat menjadi tempat persembunyian, memotong rumput dan vegetasi liar di sekitar bangunan rumah, dan menghindari penumpukan barang yang tidak perlu.
Menutup celah-celah dan lubang di struktur bangunan dapat membantu menghalangi akses laba-laba ke dalam rumah atau bangunan. Hal tersebut dapat dilakukan menggunakan perekat atau plester dan alat penyegel khusus pintu seperti penyaring dari kain yang dipasang di sekitar pintu dan jendela.
Karena laba-laba sering tertarik ke area yang gelap, mengatur penerangan yang baik di area sekitar rumah atau bangunan juga dapat dilakukan untuk mengurangi daya tarik bagi laba-laba.
Pembersihan sarang laba-laba di sudut-sudut ruangan dan tempat persembunyian lainnya dapat dilakukan secara manual menggunakan sapu atau tongkat kayu. Pembersihan ini akan lebih baik dilakukan secara berkala untuk memastikan laba-laba tidak membangun jaring lagi di tempat yang sama.
Walaupun metode pengendalian mekanis dapat membantu mengurangi jumlah infestasi laba-laba, caranya tidak selalu efektif dalam menekan populasi hama secara langsung dan cepat. Oleh karena itu, sering kali perlu dikombinasikan dengan metode lain dalam pendekatan IPM untuk hasil yang lebih efektif.
Pengendalian Budaya
Pengendalian budaya dapat dilakukan dengan manajemen vegetasi yang bertujuan untuk mengurangi habitat yang mendukung pertumbuhan hama. Pendekatan ini melibatkan pengelolaan dan modifikasi vegetasi di sekitar rumah atau bangunan untuk membuat lingkungan tersebut kurang menguntungkan bagi laba-laba dan hama lainnya.
Pemangkasan dan pembersihan adalah langkah pertama, di mana rumput, semak, dan pohon yang tumbuh terlalu dekat dengan bangunan dipotong secara rutin agar tidak menyentuh dinding rumah atau bangunan. Selain itu, penghapusan vegetasi yang tidak diperlukan atau tumbuhan invasif juga penting, dengan langkah-langkah seperti menyingkirkan tanaman liar atau vegetasi yang tumbuh berlebihan di sekitar bangunan dan menggunakan mulsa atau penutup tanah lainnya untuk mengurangi pertumbuhan gulma.
Penanaman tanaman pengusir hama, seperti lavender, mint, atau lemon balm, di sekitar fondasi rumah dan area taman bisa menciptakan penghalang alami yang tidak disukai oleh laba-laba.
Kelebihan dari manajemen vegetasi ini termasuk pengurangan habitat hama, peningkatan keamanan dan kesehatan lingkungan, pengurangan penggunaan bahan kimia, dan peningkatan keanekaragaman hayati.
Namun, manajemen vegetasi juga memiliki tantangan dan keterbatasan. Metode ini memerlukan perawatan yang terus-menerus untuk memastikan bahwa area sekitar tetap tidak mendukung keberadaan hama. Perubahan dalam populasi hama mungkin tidak terlihat secara instan dan memerlukan waktu untuk melihat hasil yang signifikan.
Pengendalian Biologis
Metode biologis dalam pengendalian hama melibatkan penggunaan musuh alami atau introduksi parasitoid yang memangsa atau menginfeksi hama target. Misalnya, tawon dan belalang sembah.
Tawon, khususnya dari keluarga Pompilidae, juga dikenal sebagai tawon laba-laba. Mereka sering memangsa laba-laba dengan cara menyengat untuk melumpuhkan dan kemudian membawa laba-laba tersebut ke sarang sebagai makanan untuk larva mereka. Tawon Pompilidae cukup efektif sebagai predator alami laba-laba, tetapi populasinya biasanya tidak cukup besar untuk mengendalikan populasi laba-laba janda hitam secara signifikan.
Belalang sembah adalah predator oportunis yang dikenal memangsa berbagai jenis serangga dan arthropoda, termasuk laba-laba. Mereka efektif dalam mengendalikan populasi laba-laba janda hitam karena mereka aktif berburu dan tidak memilih mangsa.
Walaupun metode biologis ini dapat digunakan, efektivitasnya untuk megatasi spesies predator sebetulnya kurang efektif karena laba-laba, termasuk laba-laba janda hitam, adalah predator yang berada di puncak rantai makanan dalam ekosistemnya, sehingga mereka memiliki sedikit musuh alami yang dapat digunakan dalam program pengendalian biologis.
Selain itu, introduksi musuh alami baru ke suatu ekosistem berpotensi mengganggu keseimbangan yang ada, sehingga harus dilakukan dengan sangat hati-hati untuk menghindari dampak negatif yang tidak diinginkan.
Pengendalian Kimiawi
Penggunaan racun seperti insektisida merupakan metode yang umum digunakan dalam pengendalian hama. Metode ini memiliki kelebihan utama yaitu mampu mengurangi atau memberantas hama dengan cepat dan langsung, terutama di lingkungan tertutup atau semi-tertutup.
Beberapa jenis insektisida dari kelompok piretroid yang memiliki kandungan aktif bifentrin, fenpropatrin, imiprothrin, piretrin, atau tralometrin sering digunakan untuk mengendalikan laba-laba janda hitam. Piretroid bekerja dengan mempengaruhi sistem saraf tepi hewan pada dosis yang rendah.
Selain itu, fipronil yang biasanya digunakan untuk mengendalikan berbagai spesies invasif termasuk semut Argentina (Linepithema humile), yellowjacket barat (Vespula pensylvanica), dan nyamuk juga digunakan untuk mengatasi laba-laba janda hitam. Fipronil efektif dalam waktu 1-3 hari setelah paparan awal karena sifat sistemiknya di dalam tubuh hama target.
Walaupun penggunaan insektisida memberikan hasil yang lebih signifikan, metode kimia juga memiliki beberapa kelemahan. Salah satu kelemahan utamanya adalah potensi dampak negatif pada organisme non-target, terutama serangga yang bermanfaat dan menyebabkan perubahan dalam struktur komunitas alami dan mengganggu ekosistem.
Sebagai contoh, insektisida dapat membunuh serangga yang bermanfaat, seperti lebah penyerbuk dan predator alami lainnya, yang pada gilirannya dapat menyebabkan ledakan populasi hama sekunder dan mengurangi keanekaragaman hayati.
Selain itu, walaupun piretroid dan fipronil memiliki risiko kontaminasi lingkungan yang lebih rendah, kekhawatiran tentang dampaknya terhadap ekosistem perairan tetap ada. Fipronil, meskipun lebih aman bagi sebagian besar invertebrata, tetap berdampak negatif pada beberapa serangga penting, sehingga menyebabkan pelarangan penggunaannya di beberapa wilayah, seperti di negara-negara Eropa.
Alternatif lain selain penggunaan pestisida kimia adalah menggunakan senyawa kimia yang berasal dari sumber alami, termasuk bahan-bahan yang tidak disintesis secara industri tetapi memiliki sifat kimiawi yang efektif dalam mengendalikan hama, misalnya cuka dan minyak essensial.
Cuka memiliki bahan aktif asam asetat yang bekerja dengan mengusir hama gangguan indra penciuman laba-laba. Selain itu, cuka terlalu asam bagi laba-laba janda hitam, dan kontak dengan zat tersebut bisa berakibat fatal bagi mereka. Pengaplikasiannya dapat dilakukan dengan menyemprotkan campuran larutan cuka dengan air ke area yang sering dilalui atau didiami oleh laba-laba.
Minyak esensial mengandung senyawa volatil alami seperti mentol, limonene, atau eucalyptol. Seperti halnya dengan cuka, bau kuat dari minyak esensial ini tidak disukai oleh hama target, sehingga dapat digunakan sebagai repelan.
Minyak neem adalah salah satu jenis minyak esensial yang diekstraksi dari biji pohon neem (Azadirachta indica) dan mengandung senyawa aktif seperti azadirachtin yang dikenal memiliki sifat insektisidal dan repelan terhadap serangga. Penggunaan minyak neem ini juga dilaporkan efektif untuk mengusir laba-laba janda hitam.
Tantangan yang Masih Dihadapi dan Penelitian Masa Depan
Tantangan yang masih dihadapi dalam mengatasi hama laba-laba janda hitam meliputi beberapa aspek yang memerlukan perhatian lebih lanjut. Salah satunya adalah peningkatan resistensi terhadap metode pengendalian yang sudah ada, seperti insektisida.
Meskipun terdapat urgensi untuk melakukan penanganan yang cepat terhadap laba-laba Latrodectus untuk mengurangi dampak buruk terhadap kesehatan dan ekologi, informasi, literatur, dan penelitian mengenai efektivitas metode pengendalian kimia pada laba-laba masih jarang ditemukan.
Selain itu, kesulitan dalam mendeteksi populasi laba-laba janda hitam di lingkungan yang sangat luas juga menjadi tantangan yang signifikan. Di samping itu, perlu dilakukan lebih banyak penelitian untuk memahami dampak ekologis dari berbagai metode pengendalian yang digunakan terhadap ekosistem lokal.
Maka dari itu, penelitian masa depan dapat berfokus pada penggalian informasi mengenai jumlah populasi laba-laba janda hitam di lapangan, efek pemaparan insektisida terhadap resistensinya, pengembangan strategi dan metode pengendalian yang lebih efektif dan ramah lingkungan, serta identifikasi cara untuk meminimalkan dampak negatif terhadap organisme non-target dan lingkungan secara keseluruhan.
Nah, demikian ulasan singkat terkait cara menaklukan laba-laba janda hitam dalam lingkungan urban.
Apabila sedang mencari perusahaan pengendalian hama berlisensi, Ahli Hama dapat dipilih sebagai lembaga independen terpercaya.
Di sini menyediakan berbagai jenis layanan training mencakup:
Selain itu, adapun konsultan manajemen dan sertifikasi bebas hama untuk penilaian keberadaan hama.
Untuk informasi lebih lanjut silahkan menghubungi kami melalui +62 821-1825-0931
Author : Rahmidevi Alfiani
REFERENSI
Hayasaka, D., Numa, T., & Sawahata, T. (2021). Differences in bifenthrin and fipronil susceptibility among invasive Latrodectus spp.(Araneae: Theridiidae) and nontarget spiders in Japan. Journal of Economic Entomology, 114(1), 257-264.
Hódar, J. A., & Sánchez-Piñero, F. (2002). Feeding habits of the blackwidow spider Latrodectus lilianae (Araneae: Theridiidae) in an arid zone of south-east Spain. Journal of Zoology, 257(1), 101-109.
Johnson, J. C., Kitchen, K., & Andrade, M. C. (2010). Family affects sibling cannibalism in the black widow spider, Latrodectus hesperus. Ethology, 116(8), 770-777.
Praveena, V., Vijayaraj, A., Chinnasamy, P., Ali, I., Alroobaea, R., Alyahyan, S. Y., & Raza, M. A. (2022). Optimal deep reinforcement learning for intrusion detection in UAVs. Computers, Materials & Continua, 70(2), 2639-2653.
Williams, H.E., (2024). The Black Widow Spider. United States : The University of Tennessee.