Kupu-kupu Kubis dalam Pertanian

Kupu-kupu Kubis dalam Pertanian
22
Jumat, 22 Maret 2024

Kupu-kupu kubis (Pieris brassicae) atau disebut juga sebagai Large white merupakan salah satu jenis serangga yang umum ditemukan di wilayah Amerika Serikat, Eropa, dan Afrika. Walaupun memiliki morfologi yang indah, kupu-kupu kubis merupakan salah satu jenis hama karena menyebabkan kerusakan pada tanaman Brassicaceae. Namanya yang khas sebetulnya diadaptasi dari kebiasaannya yang bertelur pada tanaman dari keluarga Brassicaceae, seperti kubis, brokoli, kailan, sawi, dan tanaman lainnya yang sejenis (Ali et al., 2017).

Gambar 1 Kupu-kupu kubis. A : Betina, B : Jantan (Lone et al., 2023)

Kupu-kupu kubis biasanya menyebar dan berkembang biak di lahan terbuka, kebun, pertanian, dan area yang memiliki tanaman inang yang cukup. Mereka dapat menyebar dari satu wilayah ke wilayah lainnya melalui pergerakan alami, seperti terbawa oleh angin atau perpindahan secara alami melalui habitat mereka. Selain itu, kupu-kupu kubis juga dapat melakukan migrasi dari daerah-daerah yang lebih hangat menuju daerah-daerah yang lebih dingin, terutama dalam mencari kondisi lingkungan yang lebih sesuai untuk berkembang biak. Aktivitas manusia juga dapat mempengaruhi penyebaran mereka. Transportasi manusia, perdagangan tanaman, dan aktivitas pertanian yang memperluas wilayah pertanian dapat memungkinkan mereka menyebar ke wilayah-wilayah baru (Ryan et al., 2019).

Tahapan hidup kupu-kupu kubis melibatkan serangkaian perubahan dari telur hingga menjadi kupu-kupu dewasa. Tahapan ini umumnya meliputi (Uk Butterflies, 2023):

  1. Telur : Siklus hidup kupu-kupu kubis dimulai ketika kupu-kupu betina meletakkan telur di daun-daun tanaman inangnya. Telur-telur ini biasanya diletakkan dalam kelompok di atas daun dan menetas setelah 5-10 hari, tergantung pada kondisi lingkungan. Telur-telur tersebut berdiri tegak dan memiliki tinggi sekitar 1,21 mm. Bentuknya elips dengan ujung yang memanjang dan berstruktur granular di ujungnya. Saat baru diletakkan, telur memiliki warna keemasan. Namun, ketika berada dalam jumlah banyakt elur tersebut terlihat berwarna kuning muda yang mencolok, terutama saat diletakkan di permukaan atas daun kubis yang berwarna hijau gelap. 
  2. Larva (Ulat Kubis): Setelah telur menetas, fase larva atau ulat kubis dimulai. Ulat ini adalah fase yang paling aktif dalam merusak tanaman. Terdapat 5 fase instar yang berlansung dari 10 hingga 14 hari atau lebih apabila kondisi lingkungan kurang mendukung pertumbuhannya. Pupa: Setelah masa larva, ulat kubis berubah menjadi pupa.
  3. Pupa adalah fase di mana ulat mengalami transformasi pada tubuh mereka yang berubah menjadi struktur yang akan menjadi kupu-kupu dewasa. Pada tahap ini, mereka berada dalam kepompong atau tempat yang terlindungi untuk menjalani transformasi. 
  4. Dewasa (Kupu-kupu): Setelah masa pupa, ulat kubis keluar sebagai kupu-kupu dewasa. Kupu-kupu ini memiliki sayap yang besar dan warna yang khas, biasanya putih dengan pola hitam di tepi sayapnya. Kupu-kupu betina dapat dibedakan dari yang jantan dengan adanya 2 bintik hitam, bersama dengan satu garis hitam di bagian atas sayap depannya. Kupu-kupu dewasa bertugas untuk berkembang biak, meletakkan telur, dan memulai kembali siklus hidup dengan meletakkan telur di tanaman inangnya.

Secara umum, kupu-kupu kubis memiliki beberapa generasi dalam setahun. Generasi pertama biasanya muncul pada awal musim semi, sementara generasi berikutnya muncul beberapa bulan berikutnya.

Kupu-kupu kubis pada tahap dewasa umumnya tidak secara langsung menyebabkan kerusakan pada tanaman. Kupu-kupu dewasa memiliki proboscis, struktur seperti belalai, yang digunakan untuk mengisap nektar dari bunga. Mereka tidak memiliki kebiasaan untuk memakan daun atau bagian-bagian tanaman lainnya seperti yang dilakukan oleh larva. Kupu-kupu dewasa lebih fokus berkembang biak dan mencari makanan seperti nektar daripada merusak tanaman. Biasanya, kerusakan pada tanaman disebabkan oleh ulat kubis pada tahap larva. Keberadaan larva atau ulat kubis dapat menyebabkan kerusakan di seluruh stadium tanaman mulai dari bibit, tahap vegetatif, dan pembungaan. Mereka memakan bagian tanaman seperti daun, ranting, buah, dan biji. Seekor larva kubis dilaporkan dapat memakan 74 hingga 80 cm2 luas permukaan daun (Younas et al.,2004).

Serangan yang signifikan tersebut dapat mengganggu pertanian dengan mengurangi hasil panen dan lebih lanjut dapat menyebabkan kerugian ekonomi bagi petani. Di India, hama ini diperkirakan menyebabkan lebih dari 40% kehilangan hasil pada berbagai tanaman sayuran setiap tahunnya (Ali et al., 2017).. Di Eropa hama ini juga merupakan salah satu hama yang diberikan perhatian khusus. Bahkan, infestasi parah hama ini dapat mengakibatkan kematian tanaman secara keseluruhan. Oleh karena itu, kontrol populasi ulat kubis menjadi penting untuk melindungi tanaman pertanian dari kerusakan yang dapat ditimbulkan oleh serangan hama ini.

Petani sering menggunakan insektisida sintetis dengan kandungan zat aktif piretroid untuk mengendalikan serangan ulat kubis. Namun, penggunaan berulang insektisida sintetis telah menyebabkan resistensi pada hama ini, membuat pengendalian semakin sulit dilakukan. Penggunaan insektisida kimia sintetis tidak hanya memiliki dampak negatif pada hama target, tetapi juga dapat berdampak negatif pada tanaman lain, serangga non-target, lingkungan, dan kesehatan manusia. Toksisitas terhadap organisme non-target dan degradasi lingkungan adalah beberapa masalah yang timbul akibat penggunaan insektisida sintetis (Ali et al., 2017).  

Dikarenakan dampak negatif dari insektisida sintetis, penting untuk mengembangkan dan menggunakan metode pengelolaan hama yang lebih aman dan ramah lingkungan untuk mengurangi ketergantungan pada insektisida kimia. Misalnya adalah pengendalian organik menggunakan predator alami seperti burung, menggunakan parasitoid seperti Cotesia glomerata, Pteromalus puparum, Anilastus ebeninus, dan Phryxe vulgaris, penggunaan jaring atau penutup untuk melindungi tanaman dari serangan lansung ulat kubis, pemasangan trap feromon untuk menarik kupu-kupu jantan dan mengurangi perkawinan di dalam satu populasi (Razmi et al, 2011 ; Aftab, 2023). Selain itu, penggunaan pestisida nabati atau insektisida botani yang berasal dari tanaman juga dapat digunakan sebagai alternatif yang efektif memberantas larva-kupu-kupu kubis. Pestisida nabati dapat menurunkan tingkat pertumbuhan, efisiensi makanan, dan menyebabkan ukuran pupa lebih kecil, memengaruhi kesuburan dan umur serangga. Penggunaan beberapa jenis pestisida nabati seperti minyak neem, ekstrak bawang putih, dan minyak jarak juga  lebih aman bagi parasitoid yang memangsa P. brassicae dibandingkan dengan insektisida sintetis sehingga menawarkan alternatif pengendalian hama yang lebih aman (Ali et al., 2017).

Selain itu, terdapat beberapa pencegahan dan manajemen larva kubis yang meliputi rotasi tanaman, pemantauan rutin, pembersihan lahan pertanian, dan pemilihan varietas tanaman (Bones et al, 2010):

  1. Rotasi tanaman dapat dilakukan dengan mengubah jenis tanaman pada setiap musim tanam. Setiap jenis tanaman memiliki hubungan yang berbeda dengan hama tertentu. Dengan merotasi tanaman, area yang sebelumnya ditanami dengan tanaman yang rentan terhadap serangan ulat kubis akan beralih menjadi tanaman yang tidak cocok bagi ulat kubis. Hal ini dapat  mengganggu siklus hidup ulat kubis, karena mereka memerlukan tanaman inang tertentu untuk berkembang biak. Rotasi tanaman juga dapat mengurangi sumber makanan yang tersedia bagi ulat kubis. Setiap tanaman memiliki nutrisi yang berbeda, dan dengan bergantinya jenis tanaman, ketersediaan makanan bagi hama tertentu akan berkurang, membatasi kemampuan ulat kubis untuk berkembang biak secara masif.
  2. Pemantauan rutin yang dilakukan dapat membatu mengidentifikasi serangan sebelum menjadi lebih parah.  Pembersihan lahan pertanian dari sisa tanaman setelah panen akan menurangi tempat persembunyian larva kupu-kupu kubis. 
  3. Pemilihan varietas tanaman yang lebih tahan teradap serangan larva kubis juga dapat dilakukan sebagai solusi preventif.

Walaupun kupu-kupu kubis pada tahap larva dapat menyebabkan kerugian pada pertanian, kupu-kupu kubis dewasa sebetulnya memiliki peran alami di ekosistem, yaitu dengan membantu penyerbukan tanaman yang terjadi saat mereka mencari nektar dari bunga. Kupu-kupu kubis juga merupakan bagian dari rantai makanan di dalam ekosistem. Sebagai larva, mereka merupakan sumber makanan bagi predator alami seperti burung dan laba-laba. Kondisi populasi kupu-kupu kubis juga dapat menjadi indikator kondisi lingkungan. Kondisi populasi mereka bisa mencerminkan kesehatan lingkungan sekitarnya dan perubahan-perubahan yang mungkin terjadi, seperti perubahan ketersediaan makanan atau dampak perubahan iklim terhadap ekosistem (Capinera, 2014).

Dalam dunia pertanian, kupu-kupu kubis menjadi tantangan yang serius bagi petani dalam menjaga hasil panen yang optimal. Upaya untuk mengendalikan serangan hama ini bukanlah hal yang mudah, terutama dengan resistensi yang semakin muncul terhadap insektisida sintetis. Namun, dengan penekanan pada penggunaan praktik-praktik organik, seperti penggunaan pestisida nabati, pencegahan dengan rotasi tanaman, serta pemantauan dan manajemen yang cermat, kita dapat mempertahankan keseimbangan yang lebih baik antara pengelolaan hama dan keberlanjutan lingkungan. Selain itu, pemahaman terhadap peran alami kupu-kupu kubis dalam ekosistem memberikan wawasan penting terhadap kompleksitas hubungan antara organisme di alam. Dengan demikian, kolaborasi antara praktisi pertanian, ilmuwan, dan komunitas akan menjadi kunci dalam mengembangkan pendekatan yang lebih holistik dan berkelanjutan dalam menghadapi tantangan dari hama ini.

REFERENSI

Aftab, M.G. (2023). Chemical Ecology of Cabage White. Cuvilier Verlag : Germany. 

Ali, S., et al. (2017).Efect of Botanicals and Synthetic Insectisides on Pieris brassicae (L.,1758) (Lepidoptera : Pieridae). Turkie Entomoloji Dergisi. 41 (3)  :  275-284.

Bones, A.M.,et al. (2010). Defence mechanisms of Brassicaceae: implications for plant-insect interactions and potential for integrated pest management. A review. Agron Sustain. 311-348.

Capinera, J. (2014). Imported Cabbageworm Pieris rapae (Linnaeus) (Insecta: Lepidoptera: Pieridae)" (On-line). Featured Creatures Entomology & Nematology. Diakses http://entnemdept.ufl.edu/creatures/veg/leaf/imported_cabbageworm.htm pada 15 Desember 2023.

Lone, I.U., et al. (2023).Impact of Various Brassica Species on the Developmental Responses of Pieris brassiciae (Linnaeus) (Lepidoptera : Pieridae), Its Extent of Damage, and Report of its Biocontrol Agent in District Rajouri of Pir Panjai Region of Himalaya. Current Agriculture Research Journal. 11 (2)  :  667-679.

Razmi, M., Karimpour, Y., Safaralizadeh, M.H. and Safavi, S.A., 2011. Parasitoid complex of cabbage large white butterfly Pieris brassicae (L.) (Lepidoptera, Pieridae) in Urmia with new records from Iran. Journal of Plant Protection Research 51: 248-251.

Ryan, S.F., et al. (2019). Global Invasion History of The Agricultural Pest Butterfly Pieris rapae Revealed with Genomics and Citizen Science. PNAS. 116 (40) : 20015-20024.

UK Butterflies. 2023. Large White (Pieris brassicae). https://www.ukbutterflies.co.uk/species.php?species=brassicae#:~:text=Life%20Cycle,August%20and%20into%20early%20September. Diakses 15 Desember 2023.

Younas, M., M. Naeem, A. Raqi & S. Masud, 2004. Population dynamics of cabbage butterfly (Pieris brassicae) and cabbage aphids (Brevicoryne brassicae) on five cultivars of cauliflower at Peshawar. Asian Journal of Plant Sciences, 3 (3): 391-393.

 

KONSULTASI DENGAN AHLI HAMA