Dichloro-Diphenyl-Trichloroethane (DDT): Sejarah Dan Dampak

Dichloro-Diphenyl-Trichloroethane (DDT): Sejarah Dan Dampak
18
Senin, 18 Maret 2024

Gambar 1 Timeline peggunaan DDT (Mansouri et al., 2017)

DDT merupakan salah satu jenis pestisida organoklorin yang mengacu pada senyawa kimia yang mengandung ikatan kovalen anaa karbon dan klorin dalam molekulnya. Pertama kali disintesis pada tahun 1874 oleh seorang ahli kimia bernama Zeidler dan mulai ditemukan sifat insektisidanya pada tahun 1939 oleh seorang ilmuwan bernama Mueller. Penggunaan awal DDT dimulai oleh militer selama Perang Dunia II untuk tujuan kesehatan masyarakat, termasuk pengendalian malaria, tifus, kutu tubuh, dan wabah pes bubo. DDT dilaporkan telah membantu mengurangi kasus malaria di Italia dan Amerika Serikat pada tahun 1946 hingga 1950 secara signifikan (Turusov et al., 2002 ; Mansouri et al., 2017).

Penggunaan DDT terus meluas hingga sektor pertanian setelah perang, digunakan oleh petani untuk mengendalikan hama pada berbagai tanaman pangan. DDT dianggap sebagai insektisida yang efektif, relatif murah untuk diproduksi, dan memiliki sifat persisten di lingkungan karena memiliki ketahanan dan kestabilan yang tinggi terhadap dekomposisi dari paparan sinar matahari. Artinya mereka dapat bertahan lama di tanah dan air setelah aplikasi sehingga dapat memberikan kontrol hama jangka panjang (Mansouri et al., 2017).

Namun, penggunaan DDT berangsur-angsur dihentikan karena kesadaran akan dampak lingkungan dan kesehatan yang serius. Pada tahun 1972, Badan Perlindungan Lingkungan Amerika Serikat (U.S. EPA) melarang penggunaan DDT di Amerika Serikat karena potensi bahayanya terhadap lingkungan dan kesehatan manusia. Selain itu, penggunaan DDT juga diatur oleh Perjanjian Stockholm di Swedia tentang Polutan Organik Persisten (POPs), yang disepakati pada tahun 2001. Meskipun perjanjian ini tidak sepenuhnya melarang penggunaan DDT, namun mengatur penggunaannya dengan ketat dan mendorong penggunaan alternatif yang lebih aman dan berkelanjutan. Pada tahun 2000-an, melalui hasil berbagai kajjian dan evaluasi ilmiah, penggunaan DDT diintroduksi kembali oleh WHO  untuk mengatasi malaria pada negara-negara Afrika dan Asia atau negara lainnya dengan kasus malaria yang tinggi. Reintroduksi DDT di Asia dan Afrika menghasilkan penurunan jumlah kasus malaria yang dilaporkan secara langsung, dari 42.000 pada tahun 2000 menjadi kurang dari 2.100 pada tahun 2002 (Mansouri et al., 2017).  

Mode aksi DDT terutama berkaitan dengan cara senyawa tersebut memengaruhi sistem saraf pada serangga. Ketika DDT memasuki tubuh serangga, ia mengalami pemecahan menjadi dua metabolit utama, DDD dan DDE, baik melalui proses biodegradasi di dalam tubuh serangga maupun melalui proses kimia di lingkungan sekitarnya. Salah satu mode aksi utama DDT adalah melalui interaksi dengan reseptor GABA dalam sistem saraf serangga. DDT mengganggu fungsi reseptor GABA dengan mengikatnya, yang menyebabkan peningkatan permeabilitas membran sel terhadap ion klorida. Hal ini mengganggu transmisi impuls saraf di seluruh tubuh serangga, menyebabkan kelemahan, paralysis, dan akhirnya kematian serangga yang terpapar. Hasilnya adalah efek knockdown yang terlihat secara langsung, di mana serangga menjadi lemah atau tidak mampu bergerak setelah terpapar DDT, yang dapat menyebabkan kematian jika paparan berlanjut dalam jangka waktu yang cukup lama atau pada konsentrasi yang tinggi (NPIC, 1999 ; Mansouri et al., 2017).

Gambar 2 Dampak negatif DDT pada telur burung  American peregrine falcon (Falco peregrinus anatum) (Newton, 2017)

DDT dianggap berbahaya karena memiliki sifat persisten yang membuatnya bertahan dalam lingkungan untuk waktu yang lama, yaitu sekitar 30 tahun setelah aplikasi. Hal tersebut menyebabkan  DDT dapat menumpuk di lingkungan dan menyebabkan kontaminasi jangka panjang. Kemudian, DDT akan terakumulasi (biokumulasi) di dalam tubuh organisme hidup.. Pada akhirnya, hal ini dapat menyebabkan akumulasi konsentrasi DDT yang tinggi mulai dari organisme tingkat trofik rendah hingga dalam organisme tingkat trofik tinggi, seperti predator tingkat atas, yang menghasilkan dampak negatif pada populasi spesies tersebut (biomagnifikasi). Selain itu, DDT memiliki efek toksik yang signifikan terhadap manusia dan telah dikaitkan dengan masalah kesehatan serius seperti kanker, gangguan hormonal, gangguan reproduksi, serta kerusakan pada sistem saraf dan kekebalan tubuh. Dampak negatif DDT juga dapat dirasakan pada ekosistem air dan tanah, cemarannya dapat mengganggu kehidupan akuatik serta mengurangi biodiversitas. Populasi burung dan hewan lain yang bergantung pada makanan yang tercemar oleh DDT juga dapat mengalami dampak serius akibat kontaminasi tersebut. DDT, terutama dalam bentuk metabolitnya DDE, telah menyebabkan penurunan populasi burung pemakan ikan, seperti falcon melalui penipisan cangkang telur, serta kegagalan reproduksi pada beberapa spesies ikan. Telur yang rapuh lebih rentan terhadap kegagalan penetasan atau kematian embrio dalam telur, karena lingkaran vitalitas untuk embrio menjadi terganggu (Turusov et al., 2002).

Studi yang dilakukan di dua kota besar di Ukraina, Kiev dan Poltava, menunjukkan bahwa 100% wanita hamil yang tidak memiliki penyakit somatik atau kontak pekerjaan dengan insektisida organoklorin memiliki DDT dan metabolitnya dalam darah mereka pada konsentrasi tertentu. Tingginya nilai tersebut di Kiev mungkin sebagian disebabkan oleh keberadaan pabrik yang memproduksi DDT. Selain itu, semua wanita yang menyusui bayinya memiliki insektisida organoklorin dalam ASI mereka, dengan DDT dan metabolitnya menjadi kontaminan utama. Tingkat paparan DDT dari ASI melebihi dosis harian yang dapat diterima, yang menyebabkan kekhawatiran terhadap dampaknya terhadap kesehatan. Beberapa penelitian epidemiologis telah menunjukkan adanya hubungan antara paparan DDT dan perkembangan tumor pada manusia. Meskipun belum ditemukan bukti yang nyata, International Agency for Research on Cancer (IARC) telah mengklasifikasikan DDT ke dalam grup 2B, yang berarti bahwa zat tersebut mungkin memiliki kemampuan untuk menyebabkan kanker pada manusia.Selain itu, DDT juga dianggap sebagai disruptor endokrin yang dapat memengaruhi fungsi hormonal dalam tubuh, yang berpotensi meningkatkan risiko kanker tertentu, terutama kanker payudara. Studi eksperimental menunjukkan bahwa DDT memiliki efek estrogenik pada hewan percobaan seperti tikus dan mencit. Hal ini mengindikasikan bahwa DDT dapat mempengaruhi perkembangan dan fungsi organ reproduksi, serta berpotensi menyebabkan perubahan seksual yang tidak normal pada hewan (Turusov et al., 2002).

Penelitian tentang karsinogenisitas DDT dan metabolitnya (DDE dan DDD) telah dilakukan di beberapa laboratorium pada hewan, termasuk primata non-manusia. Pemberian DDT sepanjang hidup pada tikus menyebabkan tumor hati secara dosis-terkait, termasuk hepatoblastoma metastatik yang jelas bersifat ganas. DDT juga menyebabkan tumor pada paru-paru dan limfoma pada tikus, tumor hati pada tikus, dan adenoma adrenal pada hamster. Pemberian DDT jangka panjang secara oral pada primata non-manusia juga dilaporkan menyebabkan toksisitas hati, serta beberapa tumor ganas dan jinak di berbagai lokasi tubuh, meskipun jumlahnya sedikit (Harada et al., 2016).

Gambar 3 Komposisi kimia DDT (Mansouri et al., 2017)

Untuk mengatasi penggunaan DDT, telah dilakukan berbagai cara, diantaranya (Mansouri et al., 2017 ; UNEP, 2017 ; Van Den Berg, 2009) :

  1. Pengembangan Alternatif Insektisida: Upaya dilakukan untuk mengembangkan alternatif insektisida yang lebih aman dan efektif dalam pengendalian vektor penyakit tanpa efek samping yang merugikan bagi lingkungan dan kesehatan manusia. Misalnya, penggunaan pestisida nabati, penggunaan agen biologi untuk mengatasi hama, dan pencarian alternatif senyawa kimia yang lebih aman untuk lingkungan dan manusia.
  2. Penggunaan Metode Bioremediasi : Metode bioremediasi melibatkan penggunaan mikroorganisme atau organisme lain untuk menguraikan DDT dan metabolitnya menjadi senyawa yang lebih aman. Ini dapat dilakukan dengan memanfaatkan bakteri, fungi, atau tanaman tertentu yang memiliki kemampuan untuk menguraikan senyawa organik beracun.
  3. Penggunaan Teknologi Fisikokimia: Teknologi ini mencakup penggunaan proses fisik atau kimia untuk menghilangkan DDT dari lingkungan. Contohnya termasuk penggunaan adsorpsi, oksidasi kimia, atau penggunaan teknologi membran untuk menyaring DDT dari air atau tanah. Pelatihan dan Pendidikan: Pelatihan dan pendidikan kepada petani, pekerja kesehatan, dan masyarakat umum tentang risiko penggunaan DDT serta alternatif pengendalian vektor yang lebih aman dan ramah lingkungan.
  4. Implementasi Peraturan Lingkungan yang Ketat: Penegakan peraturan lingkungan yang ketat terkait dengan penggunaan, produksi, dan pembuangan DDT, serta pengawasan terhadap industri yang menggunakan DDT untuk memastikan kepatuhan terhadap standar keselamatan lingkungan.
  5. Penelitian dan Pengembangan: Mendukung penelitian dan pengembangan teknologi baru untuk pengendalian vektor yang lebih inovatif dan ramah lingkungan serta alternatif lainnya untuk mengurangi ketergantungan pada DDT.
  6. Kerjasama Internasional: Melakukan kerjasama lintas batas dan internasional dalam mengatasi penggunaan DDT dengan pertukaran informasi, sumber daya, dan pengalaman dalam pengembangan solusi alternatif yang lebih baik.

Dalam menghadapi tantangan yang kompleks terkait DDT, langkah-langkah yang diambil untuk mengurangi ketergantungan pada insektisida tersebut menandai peralihan menuju pendekatan yang lebih berkelanjutan dalam pengendalian penyakit dan hama. Melalui upaya kolaboratif antara pemerintah, lembaga penelitian, organisasi non-pemerintah, dan masyarakat, telah muncul perubahan positif dalam upaya menjaga kesehatan global dan pelestarian lingkungan. Namun, perjalanan menuju penggunaan insektisida yang lebih aman dan pengendalian vektor yang berkelanjutan masih memerlukan komitmen dan upaya bersama dari semua pihak terkait.

REFERENSI

Harada, T., Takeda, M., Kojima, S., & Tomiyama, N. (2016). Toxicity and carcinogenicity of dichlorodiphenyltrichloroethane (DDT). Toxicological research32(1), 21-33.

Mansouri, A., Cregut, M., Abbes, C., Durand, M. J., Landoulsi, A., & Thouand, G. (2017). The environmental issues of DDT pollution and bioremediation: a multidisciplinary review. Applied biochemistry and biotechnology181, 309-339.

Newton, I. (2017). Invited Commentary: Fifty Years of Raptor Research: Transcript of a Plenary Address Presented at the Raptor Research Foundation 50-year Anniversary Conference, Cape May, New Jersey, 17 October 2016. Journal of Raptor Research51(2), 95-106.

NPIC, (1999). DDT (General Fact Sheet). http://npic.orst.edu/factsheets/ddtgen.pdf. Diakses pada 17 Maret 2024.

Turusov, V., Rakitsky, V., & Tomatis, L. (2002). Dichlorodiphenyltrichloroethane (DDT): ubiquity, persistence, and risks. Environmental health perspectives110 (2), 125-128.Sudomo, M., et al. (2010). Advance in Parasittology. London : Academic Press.

UNEP, (2017). Alternatives to DDT. https://www.unep.org/topics/chemicals-and-pollution-action/pollution-and-health/persistent-organic-pollutants-pops-0. Diakses 17 Maret 2024.

Van den Berg, H. (2009). Global status of DDT and its alternatives for use in vector control to prevent disease. Environmental health perspectives117(11), 1656-1663.

KONSULTASI DENGAN AHLI HAMA