Beberapa Gen yang Memfasilitasi Pengembangan Resistansi Pestisida Pada Nyamuk

Beberapa Gen yang Memfasilitasi Pengembangan Resistansi Pestisida Pada Nyamuk
19
Senin, 19 Agustus 2024

Resistansi pestisida adalah kemampuan suatu populasi organisme, seperti nyamuk, untuk bertahan hidup meskipun telah terpapar dosis pestisida yang sebelumnya efektif membunuh mayoritas individu dalam populasi tersebut.

Proses resistensi pestisida pada nyamuk merupakan salah satu contoh  seleksi alam. Hal ini dapat terjadi karena ketika pestisida digunakan, akan terjadi tekanan selektif pada populasi nyamuk. Individu nyamuk yang memiliki mutasi atau variasi genetik yang terjadi secara alami melalui kesalahan replikasi DNA, radiasi, atau faktor lain akan lebih resistan terhadap pestisida dan seiring waktu akan berkembang biak dan mewariskan sifat genetik kepada keturunannya sehingga membentuk populasi yang setiap individunya resisten terhadap pestisida.             

Fenomena resistansi pestisida memberikan kerugian besar bagi manusia karena karena dapat mengurangi efektivitas strategi pengendalian yang sudah ada, meningkatkan biaya pengendalian, dan memperburuk penyebaran penyakit yang ditularkan nyamuk, seperti demam berdarah, malaria, dan virus Zika.

Terbentuknya resistensi pada nyamuk melibatkan beberapa gen yang diketahui berkaitan dengan target molekuler pestisida, enzim detoksifikasi, dan mekanisme penurunan masuknya pestisida ke dalam tubuh nyamuk.

Voltage Gated Sodium Chanel (VGSC) adalah salah satu jenis gen yang mengkode protein saluran ion natrium yang berperan penting dalam proses pengiriman sinyal listrik di sepanjang neuron, khususnya di sistem saraf nyamuk. Pestisida neurotoksik seperti piretroid dan DDT biasanya digunakan untuk pengendalian karena kemampuannya untuk mengikat saluran ion natrium yang dikodekan oleh gen VGSC, mengganggu fungsinya sehingga akan menyebabkan kelumpuhan (knockdown) dan kematian pada nyamuk. Namun, mutasi beberapa jenis gen VGSC, seperti L1014F dan L1014S pada beberapa individu nyamuk di dalam satu populasi, menyebabkan terjadinya perubahan struktur saluran ion natrium, yang membuat pestisida tersebut tidak dapat mengikatnya lagi sehingga terjadi knockdown resistance yang menyebabkan nyamuk mampu bertahan hidup meskipun terkena paparan pestisida.

Gen ace-1 (Acetylcholinesterase 1) adalah gen yang mengkode enzim asetilkolinestarase (AChE). AchE memainkan peran krusial dalam sistem saraf dengan memecah neurotransmiter asetilkolin di sinapsis saraf yang terlibat dalam transmisi impuls saraf antara neuron dan otot. Proses ini penting untuk menghentikan sinyal saraf secara tepat waktu dan mencegah stimulasi berlebihan yang dapat menyebabkan kelumpuhan atau gangguan fungsi saraf. Pestisida seperti organofosfat dan karbamat sering digunakan karena memiliki kemampuan untuk mengikat AChE dan menghambat fungsinya, sehingga menyebabkan penumpukan asetilkolin, kelumpuhan, dan kematian nyamuk.

Namun, mutasi pada gen ace-1 dapat mengubah struktur enzim asetilkolinesterase dan mengurangi sensitivitas enzim terhadap pengikatan oleh pestisida. Salah satu mutasi yang dikenal adalah G119S (Glycine ke Serine pada posisi 119) karena dilaporkan dapat mengubah struktur enzim AchE sehingga pestisida tidak bisa mengikatnya secara efektif sehingga nyamuk menjadi resistan dan pestisida yang digunakan tidak lagi efektif dalam upaya pengendalian. 

Beberapa gen yang mengkode enzim metabolisme dan detoksifikasi pestisida, seperti P450, GST, dan Esterase juga memainkan peran penting dalam membentuk resistansi pestisida pada nyamuk. Cytochrome P450 monooxygenase (P450), seperti CYP6P9 pada Anopheles funestus, dapat meningkatkan metabolisme pestisida seperti piretroid, sedangkan Glutathione S-transferase (GST) dan esterase juga berperan dalam proses detoksifikasi melalui peningkatan konjugasi dan hidrolisis pestisida. Paparan ekspresi pestisida secara terus menerus dilaporkan telah meningkatkan ekspresi genetik dari ketiga enzim tersebut sehingga nyamuk dapat mengembangkan resistansi yang lebih kuat terhadap pestisida.

Selain itu, resistansi pestisida pada nyamuk dapat terjadi karena perubahan kutikula yang menyebabkan berkurangnya penetrasi pestisida ke dalam tubuhnya. Perubahan kutikula dapat terjadi karena beberapa faktor, seperti mutasi genetik dan perubahan gen yang berperan dalam biosintesis dan modifikasi komponen kutikula, seperti CYP6M2 dan CYP6M3 (Cytochrome P450) yang terlibat dalam metabolisme kutikula dan memodifikasi struktur untuk mengurangi penetrasi pestisida, LCP1 (Lipid-Cuticle Protein 1) mengkode protein yang berperan dalam sintesis lipid dan protein kutikula, CTL1 (Cuticular Protein) mempengaruhi kekuatan dan struktur kutikula, dan ABCB1 (ATP-Binding Cassette Transporter B1) berfungsi sebagai transporter untuk mengeluarkan pestisida dari sel. Perubahan ekspresi atau mutasi pada gen-gen ini dapat menyebabkan penebalan atau perubahan komposisi kutikula, sehingga mengurangi jumlah pestisida yang menembus tubuh nyamuk dan berkontribusi pada resistansi terhadap berbagai jenis insektisida.

Penggunaan pestisida yang berlebihan atau tidak tepat dapat memperparah terjadinya resistensi pada nyamuk. Hal ini dapat mempercepat seleksi alam sehingga akan meningkatkan frekuensi gen resistan dalam populasi nyamuk, menyebabkan resistensi meluas dan berkembang lebih cepat. 

Maka dari itu, penting untuk memahami mekanisme terjadinya resistansi dan melakukan konsultasi dengan ahli hama sebelum melakukan pengendalian nyamuk. Ahli entomologi dan spesialis pengendalian vektor dapat memberikan panduan yang berbasis pada pemahaman mendalam tentang mekanisme resistansi dan cara terbaik untuk menggunakan pestisida secara efisien. 

Resistansi pestisida pada nyamuk merupakan tantangan serius dalam pengendalian vektor yang masih memerlukan penelitian lebih lanjut, serta pemahaman berbasis molekuler, genetik, dan metabolik yang mendalam. Strategi pengendalian yang berbasis pengetahuan sangat penting untuk melawan resistansi dan melindungi kesehatan masyarakat dari penyakit yang ditularkan oleh nyamuk.

Nah, demikian informasi terkait gen yang memfasilitasi pengembangan resistansi pestisida pada nyamuk. Semoga bermanfaat, ya!

Untuk informasi lebih lanjut silahkan menghubungi kami melalui +62 821-1825-0931

Author : Rahmidevi Alfiani  

REFERENSI

Enayati, A. A., Vatandoost, H., Ladonni, H., Townson, H., & Hemingway, J. (2003). Molecular evidence for a kdr‐like pyrethroid resistance mechanism in the malaria vector mosquito Anopheles stephensi. Medical and veterinary entomology17(2), 138-144.

Félix, R., & Silveira, H. (2012). The role of anopheles gambiae p450 cytochrome in insecticide resistance and infection. In Insecticides-Pest Engineering. IntechOpen.

Liu, N. (2015). Insecticide resistance in mosquitoes: impact, mechanisms, and research directions. Annual review of entomology60(1), 537-559.

Sanil, D., Shetty, V., & Shetty, N. J. (2014). Differential expression of glutathione s-transferase enzyme in different life stages of various insecticide-resistant strains of Anopheles stephensi: A malaria vector. Journal of vector borne diseases51(2), 97-105.

Xu, Q., Liu, H., Zhang, L., & Liu, N. (2005). Resistance in the mosquito, Culex quinquefasciatus, and possible mechanisms for resistance. Pest Management Science: formerly Pesticide Science61(11), 1096-1102.

KONSULTASI DENGAN AHLI HAMA